dreamnicer version 1.0
09 February 2008

Menyibak Tirai "Hujan Bulan Juni' Sapardi Djoko Damono

Oleh: Lia Octavia

Puisi, menurut kamus Wikipedia Indonesia, berasal dari bahasa Yunani kuno poieo/poio yang berarti I create atau saya menciptakan. Adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain aerti semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rhyme adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan karena beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagia jenis literature tetapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.

Sedangkan penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu. Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.

Salah satu penyair besar Indonesia yang dikenal luas adalah Sapardi Djoko Damono. Dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940 dan di tempat itu pula ia menghabiskan masa-masa indah dari kanak-kanak hingga dewasa. Pertama kali menulis puisi pada kelas 2 SMA dan sebagian besar masa mudanya diabdikan pada berbagai kegiatan kesenian, diskusi sastra, membaca puisi, siaran sastra di RRI Yogya dan Solo, menyutradarai pementasan drama, main musik dan sebagainya. Sajaknya pertama kali dimuat di ruangan kebudayaan tabloid Pos Minggu, Semarang, tahun 1957. Sejak itu, para penikmat puisi dapat menjumpai puisi-puisinya di berbagai media. Pada tahun 1986, tiga buah esai dan sejumlah sajaknya diterjemahkan dan diterbitkan di Jepang sebagai salah satu penerbitan sastra dunia. Sejak itu, sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman dan Arab, serta diterbitkan dalam berbagai bunga rampai dan majalah di Negara-negara tersebut.

Hujan Bulan Juni – Sepilihan Sajak terbitan Grasindo, adalah kumpulan sajak-sajak yang ditulisnya dalam rentang waktu 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Puisi-puisi yang ditulisnya banyak diilhami dan tentang manusia; pengalaman mereka, perasaan mereka, karakter mereka dan tentu saja, cinta. Puisi-puisinya yang peka dan melarutkan jiwa-jiwa bercita rasa tinggi ke dalamnya.

Seperti penuturannya tentang suasana malam di Solo yang tertuang dalam puisinya yang berjudul "Pada Suatu Malam" sebagai pembuka kumpulan sajaknya. Tempat di mana ia lahir dan menghabiskan hampir sebagian besar masa-masa mudanya di Solo. Ia bertutur tentang kematian, kesadaran akan waktu hidup di dunia fana ini yang hanya sebentar dan kenangan yang ditinggalkan seseorang yang sudah meninggal dalam "Tentang Seorang Penjaga Kubur Yang Mati", "Saat Sebelum Berangkat", "Berjalan Di Belakang Jenazah", "Sehabis Mengantar Jenazah", "Lanskap" dan "Ziarah". Simak saja tuturnya mengenai umur manusia sebagai berikut:

Sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
Waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
Putih, kita pun putih memandangnya setia
Sampai habis semua senja

Ketergantungannya pada Sang Pencipta juga menghasilkan puisi-puisi dari perjalanan perenungannya setiap hari; "Dalam Doa I", "Dalam Doa II", "Dalam Doa III", "Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka". Kesadaran betapa ringkihnya jiwa manusia yang awalnya seharum bunga lalu kemudian dapat terjebak dalam nafsu manusiawi yang risau. Di saat kata-kata melebur menjadi cahaya dan berucap doa pada pertemuan dengan Sang Cinta di heningnya malam.

Cinta, ilham yang selalu tak habis-habisnya digali dan bertaburan dalam bait-bait puisinya. Cinta yang sederhana, yang tak pernah mengharap balasan dan kerap kali menjadi ikon bahasa cinta anak-anak muda terlukis dengan indah, mendalam, menggetarkan jiwa dan tentu saja sederhana dalam "Aku Ingin":

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Rasanya lidahpun kelu dan hanya kedalaman rahasia hati insani yang mampu mengomentari puisi indah ini. Begitu pula ungkapan hatinya dalam doa untuk orang yang tercinta pada "Dalam Doaku":

…aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu…

Sederhana dan menusuk jiwa. Juga puisi-puisinya yang melukiskan agungnya pernikahan, gambaran kesempurnaan insani dalam agama-Nya dalam "Pertemuan" dan "Sajak Perkawinan":

… perkawinan tak dimana pun, tak
kapan pun
kelopak demi kelopak terbuka
malam pun sempurna

Kehidupan dunia yang bak panggung sandiwara inipun tak lepas mengilhami Sapardi untuk menggubah bulir-bulir nyanyian opera menjadi kata-kata penuh makna yang mengejek dunia. Seperti dalam puisinya "Sandiwara I", "Topeng" dan "Sandiwara 2" yang ditulisnya untuk Yudhis dan Putu Wijaya serta:

…bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampu
semakin redup – kursi itu tetap bergoyang. Kita, penonton,
harus pulang sebelum sempat lagi ketawa.

Begitu juga ungkapan tentang jarak dan waktu dalam pencarian jati diri yang tak lekang dilarung waktu dalam "Sonet:Y", "Jarak", "Sonet:X" dan "Yang Fana Adalah Waktu":

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.

Hujan, yang merupakan tema yang diambil Sapardi dalam bukunya ini, tak pelak lagi menghujani halaman-halaman rumah dunianya. Simak saja dalam "Hujan Dalam Kompisisi, I", "Hujan Dalam komposisi, 2", "Hujan dalam Kompisisi, 3", "Percakapan Malam Hujan" dan "Hujan Bulan Juni" yang umumnya menggambarkan personifikasi luruhnya hujan untuk menyuburkan ranah-ranah kehidupan:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yangtak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Terlepas dari genre, antara ambiguitas dan konvensi puisi, struktur, pemilihan diksi dan kosa kata yang digunakannya, melebur ke dalam jiwa karya-karya Sapardi adalah suatu petualangan yang unik, menambah warna warni pelangi wawasan, menikmati kebebasannya dalam berkata-kata, meresapi renungan-renunganny a dan relasinya dengan Sang Maha Kuasa serta bagaimana menghargai hidup bersama esensinya dengan tanpa khawatir untuk mengawali perubahan itu sendiri. Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini yang terjadi, yang terbuat dan yang terjejak adalah mata air pelajaran yang penuh hikmah dan tidak ada yang sia-sia.

hujan turun semalaman
paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu
kapan harus berbuat sesuatu, agar kita
merasa tidak sepenuhnya sia-sia.

Seperti yang dikatakan seorang sahabat kepadaku, "Tenggelam dalam puisi adalah keniscayaan. " Dan niscaya setelah tenggelam dalam hujan bulan juni, rangkaian kisah hidup terkuak, tirai-tirai hujan kehidupan tersibak, hingga akhirnya kita meretas menjadi cahaya di persinggahan sementara ini dalam perjalanan menuju keabadian di dalam birunya samudera jiwa.

Easy leave message, here!
(0 comments at js-kit.com)

0 comments: