dreamnicer version 1.0
09 February 2008

Gairah Kesusastraan di Sumatra Barat

Beberapa bulan ke depan, (dengar-dengar kabar) Sumatra Barat rencananya akan menjadi tuan rumah dari "Temu Sastra 5 Kota (Padang, Bali, Bandung, Yogyakarta dan Lampung)"--sebelumnya 4 kota minus Lampung. Kabar ini tidak main-main, elemen kesusastraan terkait seperti Taman Budaya, DKSB, dan komunitas-komunitas sastra sudah bergerak demi tercapainya kesempurnaan acara tersebut.

Perjalanan kesusastraan di Sumatra Barat jika dilihat dengan mata telanjang memang terus-menerus bergerak. Regenerasi penulis-penulis tak ada hentinya, menjadikan Sumatra Barat lahan subur bagi lahirnya bibit-bibit sastrawan. "Semangat dan kontinuitas adalah modal penting jika ingin jadi penulis" begitu yang tampaknya diyakini oleh generasi sastra di wilayah yang juga sering disebut sebagai Minangkabau.

Tetapi, masih ada yang perlu dikritisi dan dibenahi. Tulisan Muhammad Subhan di Kabar Indonesia mungkin bisa menjadi referensi tentang apa yang mesti dibenahi itu.

Yang sedang saya "tafakuri" saat ini-tepatnya beberapa tahun terakhir-adalah fenomena keringnya kualitas cerpen-cerpen yang dilahirkan penulis Sumatra Barat untuk koran di daerah sendiri. Bahkan yang lebih kering lagi, adalah minimnya kritik sastra untuk cerpen-cerpen yang muncul di sejumlah koran terbitan Padang.


Kalimat berhuruf tebal di atas itulah yang perlu dibenahi oleh elemen sastra di Sumbar. Apakah cerpen-cerpen (karya sastra lain) yang terbit di Padang memang sebegitu sampahnya hingga tak layak untuk diapresiasi? Atau, apakah yang menulisnya bukan penulis besar seperti Gus Tf, Iyut, Yusrizal KW, Harris Efendi Thahar dll.? Atau, koran-koran di Padang yang dianggap tidak berkualitas?

Apa yang ditulis oleh Muhammad Subhan juga yang saya pertanyakan kepada elemen sastra di Sumbar. Tentu daftar ini masih akan panjang jika ditambahkan dengan miskinnya proyek buku sastra yang dijalankan. Kalau memang ada, terbatas pada penulis-penulis senior. Kadang-kadang saya berpikir, penulis muda Sumbar memang banyak tetapi tak (kurang) difasilitasi. Jikalau ada fasilitas itu, hanya sekedar perpanjangan tangan dari ide-ide si pemberi fasilitas. Penulis muda pun mandul berkreativitas karena otaknya telah dijajah oleh ide-ide si fasilitator.

Kurang produktifnya cerpenis-cerpenis Sumbar di "kampoeng" sendiri, menurut hemat saya, karena masih rendahnya penghargaan koran terhadap karya-karya mereka. Penghargaan yang saya maksud, mungkin secara finansial sebagai input "kerja keras" mereka. Melalui esai ini, saya merasa risih menyebut berapa jumlah honor yang akan diterima penulis untuk setiap cerpen yang dipublikasikan di koran bersangkutan. Artinya, honor untuk cerpenis Sumatra Barat di daerah sendiri masih sangat rendah.


Sebenarnya riskan membicarakan permasalahan ini. Salah-salah langkah bisa di-cap Kapitalis. Dan penulis muda, kebanyakan anti kapitalis. Saya membenarkan apa yang disebut Subhan dengan "input kerja keras". Media di Padang memang belum serius menanggapi keseriusan para penulisnya. "Batu loncatan" adalah esensi yang diyakini sebagian besar penulis. Hal ini sudah jadi rahasia umum di kalangan media tersebut maupun penulis-penulis.

Oleh karena itu, apakah kesusastraan Sumbar akan tetap dibiarkan seperti ini saja?
Easy leave message, here!
(0 comments at js-kit.com)

0 comments: