dreamnicer version 1.0
26 January 2008

TEKSTIKA

Soon!


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

PESAN-PESAN ADMIN

CUKUP berbangga juga sama blog ini. Belum di "Launching" saja pengunjungnya sudah mencapai 100-an lebih. Memang, kalau diukur dengan blog seleb yang lain misalnya webersis.com, blog ini masih kalah jauh.

Beberapa komentar yang masuk menjurus kepada kritikan mengapa sampai sekarang blog ini sepertinya tak terkelola dengan baik. Hmmmm... Saya (SMS) sebagai Admin perlu menjernihkan dulu. Sebab, blog ini belum di launching. Rencananya akan digeber bersamaan dengan Tekstika awal Februari 2008. Setelah itu, tunggu saja terobosan-terobosan baru yang akan dilahirkan oleh blog ini. :)

Pihak Tekstika juga sedang membanting tulang agar buletin kebanggaan HMJ itu laik terbit awal Februari nanti. Kemarin saja, ketika orang-orang pada ambil jatah liburan semesternya, kru Tekstika yang digawangi Suprianto (Ucup 05), Taufik (Unjuik 06), Bayu 06, dan Sayyid 05 sibuk mencari berita. Tugas telah diberikan oleh Pimred kepada masing-masing anggota. Taufik dan Bayu menjadi reporter kampus sekaligus berita sastra. Sayyid sebagai editor, Lay out dan percetakan. Sedangkan Ucup walaupun sebagai Pimred tidak lantas ongkang-ongkang kaki saja. Ia siap menjadi distributor buletin itu nanti.

Begitulah, tak ada kata istirahat rupanya bagi kru Tekstika yang berada di bawah Divisi Kepenulisan itu.

Dan mari kita beri spirit kepada mereka, agar Tekstika tidak mogok lagi jalannya seperti beberapa tahun belakangan ini.

salam

(ADMIN; SMS)

"Bukan Sastra Mazhab Selangkangan Lo :P


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
11 January 2008

PUISI MUHAMMAD IKHSAN

Catatan dari Serambi

-sebuah reportoar

pagi itu, sayang
selepas malam kita habiskan cumbu dalam mesra,
angin akhir tahun yang kering
membentangkan kegelisahan di kotamu
di tanah yang disakralkan
berkelindan dalam ritual kecemasan.
lalu waktu mengajak kita dalam hitungan yang menyakitkan
menit-menit begitu sesak
antar pada pertemuan abadi.

pagi itu, sayang
telah kuhapalkan senyummu yang sunyi
dan kusam tawamu pada embun pagi,
pada setiap kelok jalan dan persimpangan.
pergilah dengan kasih dari tanah kepedihan
karena Dia akan menunggumu di sebuah padang tua
:padang yang tak pernah urung menghadirkan
kenangan pada rimpel-rimpel rindu
kampung halaman yang musnah
:padang yang mengalir air sungai di bawahnya
tertitah dalam kitab suci

dan Dia akan mencumbumu lebih mesra.

jambi, februari 2005


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
08 January 2008

RUDOLF PUSPA INGIN MENYUTRADARAI PEMENTASAN TEATER LANGKAH

JAM delapan malam 31 desember 2007 Padang sudah begitu riuh. bagaimana tidak, malam pertukaran tahun membuat warga kota padang berhamburan ke luar rumah mencari tempat untuk menghabiskan malam. Laju kendaraan membuat jalanan seputar kota padang macet, sepanjang pantai padang dipenuhi beragam orang.

Saat itulah ketua teater langkah (pinto Anugrah) dan beberapa orang anggota (reno wulan sari, zulfan Pamela, esha tegar putra) diundang oleh Dekan dan PD III fakultas sastra untuk menghadiri jamuan makan malam di rumah makan simpang raya. Meja telah berjajar pangang, hidangan pun telah tersedia, dan ternyata undangan tersebut merupakan pembahasan tentang Rudolf Puspa (sutradara teater keliling) menawarkan kerjasama dengan teater langkah.

Seiring makan malam tersebut pembicaraan terus berlansung, dari cerita politik, permasalahan dunia teater, sampai pada tujuan makan malam ini; bahwa Rudol puspa menginginkan kerjasama dengan teater langkah, dengan cara menyutradarai sebuah proses pementasan. Hidangan telah selesai di makan. Jam telah menunjukkan bahwasanya tahun akan segera bertukar, riuh kendaraan makin menjadi-jadi terdengar. Dan keputusan belum juga dimabil: apakah keputusan kerjasama dengan rulof puspa disetujui oleh dekan dan PD III? (dok/HMJ)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

LATIHAN ALAM DASAR (LAD) SASTRA INDONESIA KAPAN?

RENCANA LAD (baca; latihan alam dasar) teater dan kepenulisan bagi mahasiswa baru angkatan 2007/2008 diundur sampai bulan Februari. “jika diadakan dalam semester I (ganjil) bapak tidak akan bertanggung jawab, tapi buatlah acara itu pada awal semester II (genap) dan bapak akan mempertanggung jawabkannya”. Ungkap bapak Zulqayim pembantu dekan III fakultas sastra Unand.

Terhalangnya acara LAD--menurut rencana panitia diadakan bulan Januari 2008—adalah kebijakan pihak Rektorat yang tidak memberikan izin untuk emgadakan acara yang sifatnya “bersentuhan” dengan anak baru, apalagi acara yang bermalam di luar lingkungan kampus.

Padahal LAD sastra Indonesia bukanlah jenis acara perpeloncoan (ala Ospek) terhadap mahasiswa baru. LAD merupakan bagian dari sistem mata kuliah (drama dan kepenulisan) yang ada di jurusan sastra Indonesia, LAD merupakan dasar bagi mahasiswa baru. Adapun materi dalam LAD tersebut adalah meteri-materi mengenai teater; keaktoran, manajemen pertunjukan,dll. Serat materi-materi kepenulisan; penulisan fiksi (cerpen, puisi, naskah drama), kepulisan kreastif (artikel, essay,dll). “jika mereka tidak diberikan dasar itu, maka mereka akan keget dan bingung, ketika menghadapi perkuliahan di sastra Indonesia yang banyak berhubungan dengan materi-materi di LAD” ungkap Nofrizal, ketua pelaksana LAD 2008. (dok/HMJ)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Sastra, Metafora dalam Dunia(nya)

ADALAH kekeliruan ketika orang-orang menyebut sastra, dunia yang penuh dengan kesunyian, dunia yang menyepi sendiri. Sastra penuh dengan keramaian, penuh dengan keriuhan. Yang dianggap sunyi itu mungkin proses dari penciptaan karya sastra, di mana seseorang (di antara ribuan) sastrawan menciptakan karya dengan membangun dunianya sendiri. Dunia yang terpaksa disepikan untuk menghasilkan sebuah karya yang bermanfaat bagi pembacanya.

Sejarah perkembangan kesusastraan (baca; dunia sastra) di Indonesia telah panjang. Sejarah yang ingin selalu meraih kebebasannya sendiri, mendapatkan tempatnya sendiri, dan menolak segala pengekangan terhadap sebuah proses. Itu merupakan hal yang lazim. Menciptakan sebuah karya akan baik jika proses itu terbangun jauh dari pengekangan terhadap ide.

Sastra merupakan jawaban dari sekian banyak kesakitan, jawaban kesenangan, cinta, dunia, perang, mimpi, dan segala hal yang menyangkut rasa. Tidak salah jika Arif bagus Prasetyo (2005:104) menyatakan serupa ini tentang sastra di Indonesia—perspektif terhadap seorang penyair: atas nama sebentuk peradaban impian nan gemilang di masa depan, sejarah hadir sebagai suksesi momen-momen kudus tatkala rasio dan utopia ditubuhkan dalam tindakan. Namun itulah arak-arakan yang penuh luka dan trauma di sepanjang lintasannya: tumbuhnya nasionalisme, revolusi 1945, prahara 1965 dan, tentu saja, bangkitnya rezim otoriter pembangunan. Sejarah tidak lain sebagai area konflik yang mencabik-cabik tubuh masyarakat dalam berbagai kontradiksi sosial-politik. Penyair datang membawa kabar penyembuhan bagi kontradiksi ini. Ditawarkannya sepetak tanah suaka ideal yang melindungi masyarakat dari horor perubahan dan kematian.

Begitulah Arif membaca sejarah sastra di Indonesia. sastra yang selalu berhubungan dengan masyarakat tempatnya berkembang. Sastra yang penuh dengan “warna” campuran antara masalah dan perdebatan. Tapi itu merupakan sejarah yang dibaca dan telah terbaca. Dan akan selalu menjadi tonggak, atau setidaknya penopang bagi perkembangan sastra.

Dalam sehari sekian banyak karya sastra yang lahir dari tangan ratusan (mungkin ribuan) sastrawan, dari pusat sampai ke daerah pelosok di Indonesia. Sekian banyak yang terbit di koran-koran setiap Minggunya. Dan setiap tahunnya sekian buku karya sastra diterbitkan—walau di balik semua itu banyak juga karya yang tercecer dan tidak mendapatkan tempat (dan terkadang mencari tempatnya sendiri). Itulah sastra, dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk pemikiran tentang segala hal. Sastra yang hidup dengan metafor-metafor.

Saya teringat tulisan bapak Fadlillah Malin Sutan Kayo Akhir Tahun di Negeri Senja, pada Sastra (Singgalang Minggu, 6 Januari 2008) dan saya ingin menyangkutkan dengan tulisan ini—tentang sastra dan metafora. Fadlillah membahas tentang Barat dan Timur, lalu menyulam tulisannya dengan metafora dari cerpen Seno Gumira Ajidarma (2003) yang memakai metafora Negeri Senja. Metafora yang dianggap sebentuk pola, cara pandang, visi:

...Pola negeri senja, dapat dipahami pada putaran waktu pada masa tua, namun tragiknya, waktu itu tidak berputar, waktu itu menetap, tidak ada satu orang tokoh, kelompok, kaum, tapi pada satu negeri. Pola budaya negeri senja itu berkuasa pada suatu negeri, budaya, politik, sehingga masa depan tidak ada di negeri itu.

Di sanalah (karya sastra) bermain dengan metafor-metafornya. Penciptaan dunia sendiri dari realitas yang tidak bisa diterima dengan akal dimainkan dengan rasa, dengan penyelipan berbagai mediasi benda hidup ataupun tidak (metafora). Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, dari peralihan ke peralihan yang menimbulkan guncangnya kebudayaan. Sastra tetap hadir melawan pesimistis dari realitas yang mengungkung kehidupan.

Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah peralihan lagi (dan akan tetap begitu seterusnya), peralihan dari tahun 2007 ke 2008. peralihan itu (bagi dunia sastra) hanya sebuah konteks waktu yang membuat dunia sastra itu menemukan hal-hal yang baru, tanpa meninggalkan yang lama. Konteks hanya akan mengganti sebuah kolofon, mengganti penanda, penanggalan pada sebuah karya. Mungkin akan bermunculan lagi puluhan (bahkan ratusan) sastrawan dengan ribuan karya pada tahun ini—dan semoga saja begitu setiap tahunnya.

Tapi akankah karya yang lahir itu hanya sebuah manifestasi, atau eksistensi, dari seorang sastrawan? Akankah dunia yang dianggap sunyi—padahal hiruk-pikuk itu tetap saja terjadi—itu menjadikan kesunyian berlanjut bagi masyarakat sastra karena tidak adanya sebuah “pencapaian” dalam karya sastra? Tetap saja sastra akan begitu, karya melahir, dibaca, dikritik (mungkin juga tidak) dan wacana baru.

Kesusastraan hidup dalam pikiran. Di dalam sejarah kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya akan menjulang dengan sendirinya, di tengah hiruk-pikuk macam apa pun yang diprogram secara terperinci lewat media komunikasi massa. Rekayasa media massa yang paling canggih pun akan cepat lumer seperti es krim, namun kesusastraan yang ditulis di atas kertas cebok di padang-padang pengasingan, dari Buru sampai Siberia, dari detik ke detik memunculkan dirinya, bicara dalam segala bahasa di delapan penjuru angin (2005 : 2)

pernyataan di atas ini bukanlah perlawanan seorang sastrawan, ungkap Seno Gumira Ajidarma. Tapi setidaknya kalimat ini telah mengungkapkan perihal sastra dan dunianya. dunia yang akan terus bergerak, di dalam pikiran. Meski hanya dengan “bergumam”, sastra akan terus menyampaikan sesuatu dengan karya-karya. dan semoga saja tahun ini (juga selanjutnya) akan bertebaran terus karya-karya sastra, walau hiruk-pikuk berbagi permasalahan terjadi.

Sastra dan metafor-metafor yang bertebaran, serupa air laut dan asin. Jika dipisah menjadikan sesuatu yang lain, sesuatu yang (c)air, tapi bukan air laut. Jika berbagai persoalan realitas menjadi sebuah jeruji, di dalam itulah sastra akan bermain. Dunia yang akan tercipta dengan sendirinya.

Kandangpadati, Januari 2007

*) Esha Tegar Putra adalah ketua HMJ Sastra Indonesia UNAND. Bergiat di Komunitas Daun dan Aktor Ranah Teater Padang.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Sajak-sajak Andri Anda Saputra

Relief di Puncak Bukit

di puncak bukit sekumpulan semak
telah lupa jadi pohon

bertahun hidup
menggambar jejak yang lembab
di bawah musim

ketika tahun-tahun menjadi kering
ia menjelma wajah bisu burung-burung,

menatap kepergian awan
dari utara

Kandangpadati, 2007


Relief di Jalan Pulang

patung-patung debu
yang pecah dari batu
yang lahir di ujung gagu
tegak menunggu

di balik udara padat
berbagi tubuh
menempuh ruh
yang luruh

Kandangpadati, 2007


Relief di Kota

dini hari terasa lebih dingin. orang-orang
kembali jadi batu di rumah-rumah tanpa lampu.
di ujung gang, bulan pecah melolong panjang
menyembur jalan-jalan. di mata pengembara,
sebuah ladang perburuan.

Kandangpadati, 2007


Relief dari Bukit Lampu

dan kita berkejaran mencuri maksud di antara pintal ombak
di bawah bayangan nujum badan kapal yang pernah karam
sebuah kisah kita turunkan dari layar,
kisah yang seusia bukit berpanah pendar,
bukit yang dulu lerai dari ingatan,
yang bermusim-musim menjadi isyarat atas angin dan hujan

dan kita pun sampai ketika lereng runtuh jadi tepian
lewat dengung angin yang terasa makin rampai
lewat isak air yang terus menampar sakit pelabuhan
menggulung perih berpaut sepi pantai

tapi kita tak henti berkejaran
menghalau nujum sekoci yang lepas saat buritan akhirnya tertelan
membawa sepeti kisah larung ke palung

kitalah yang menimbun tubuh dalam pasir
saat teluk mengendap kisah pelayaran

Kandangpadati, 2007

Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 06.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Desember, Musim Berlabuhnya Seorang Penyair



di sini aku hanya sendiri, sayang
tidak seperti hari-hari lain, dadamu kau selimutkan
untuk segala gelisahku, kemudian kau bisikkan tentang bunga
tiga tetes darah yang melukis sore sebagai mainan kita
lalu di tungku, separuh kantuk kau siapkan aku
segelas kopi, kita meneguk pagi yang alangkah gairah itu
"aku akan menabung jantung, demi benih yang
kau khayalkan sepanjang malam!"

(Iyut Fitra, Kangen. Pikiran Rakyat 10/11/2007)

Payakumbuh, 26 Desember 2007 seketika hujan mereda. Sebuah pelaminan berhias lengkap di halaman rumah gadang berdiri dengan eloknya. Pelaminan berwarna merah berhiaskan manik-manik emas. Di sanalah, Iyut Fitra (penyair) dan Zarni Jamila (penari) duduk saling senyum. Sering terlihat canda dari marapulai dan anak daro, dalam canda orang memperhatikan mereka sebagai pasangan yang beruntung. Sebab apa? Desember yang biasa hujan itu tampak cerah dari pagi sampai malam, usai perhelatan yang diadakan di maskas komunitas seni Intro tersebut.

Sesekali terlihat Iyut membereskan suntiang yang dipakai anak daronya tersangkut rumbai-rumbai pelaminan sewaktu mereka berdiri menyalami tamu-tamu yang berdatangan. Sementara tamu makan, bersalaman, di depan musisi-musisi muda intro menyanyikan lagu, dari lagu Minang ke lagu barat, dari lagu slow ke lagu rock. Dan juga terlihat para penanti tamu sibuk membagikan sebuah buku kumpulan puisii yang berjudul Pelabuhan Desember. “Kumpulan puisi tersebut isinya adalh kado dari kawan-kawan penyair” ungkap iyut. Dan memang, isi buku kumpulan tersebut beragam, dari penyair Sutardji, Afrizal Malna, Goenawan Mhammad, sapardi, Rusli Marzuki saria, sampai penyair-penyair muda yang akhir-akhir ini mangkal di koran-koran nasional ikut nimbrung di buku tersebut.

Suasana makin ramai. Dentingan piring dan sendok terdengar dari meja tamu, dari tempat pencucian piring , dan dari panggung juga terdengar beberapa penyair yang datang membacakan puisi.

Begitulah Iyut Fitra melabuhkan hidupnya dengan Zarni jamila pada 26 Desember 2007. Di payokumbuh, tanah kelahirannya. Tempat ia berproses dalam dunia kepenyairannya. Semoga pernikahan ini adalah pelabuhan, tempat kegelisahan dikadukan, tempat senang dibagikan. Dan selamat atas pernikahannya. Semoga menjadi pasangan yang saling merindu, saling mencinta, sampai pad waktu yang tak berbatas. (dok/HMJ)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Mengenai Temu Penyair Muda 2008



HERBARIUM, itulah nama antologi puisi dari pertemuan beberapa penyair muda empat kota—Yogya, Padang, Bali, Bandung—Februari 2007. Acara tersebut digelar selama tiga hari di Taman Budaya Yogya dan digagas oleh komunitas Rumah Poetika Yogya. Dan kabarnya dalam bulan April tahun ini acara temu Penyair Muda Empat Kota akan segera diadakan di Sumatera Barat.

Belum ada kepastian yang jelas dari panitia acara tentang acara yang kemungkinan besar di adakan di Taeh (Payokumbuh) akan mengalami penambahan bebarapa bebrapa kota lagi. Yang jelas ini adalah sebuah ruang apresiasi, tempat para penyair muda berjumpa, berdiskusi, dan bersilaturahmi.

Adapun nama-nama penyair muda dari Sumbar yang masuk pada proyek antologi Temu Penyair Muda Empat Kota (HERBARIUM) Pada temu penyair empat kota tahun lalu di antaranya: Ragdi F. Daye. Chairan Hafzan Yurma, Pinto Anugrah, Esha Tegar Putra, Fadhilla Ramadona, Risa Syukria, Joko Nugroho, Beny S, Iggoy El Fitra. Siapakah penyair-penyair muda sumbar yang bakal diundang pada pertemuan kalii ini? Siapa pun yang diundang, yang jelas, apa sumbangsih acara ini bagii masyarakat, proses pematangan kepenyairan, serta dalam peta kesusatraan di Indonesia (khususnya perpuisian Indonesia). Semoga saja acara ini terlaksana dengan baik dan banyak kemunculan nama-nama baru di ranah perpuisian, baik di daerah (Sumbar) atau di jagat perpuisian Indonesia. (Info/HMJ)
HERBARIUM, itulah nama antologi puisi dari pertemuan beberapa penyair muda empat kota—Yogya, Padang, Bali, Bandung—Februari 2007. Acara tersebut digelar selama tiga hari di Taman Budaya Yogya dan digagas oleh komunitas Rumah Poetika Yogya. Dan kabarnya dalam bulan April tahun ini acara temu Penyair Muda Empat Kota akan segera diadakan di Sumatera Barat.

Belum ada kepastian yang jelas dari panitia acara tentang acara yang kemungkinan besar di adakan di Taeh (Payokumbuh) akan mengalami penambahan bebarapa bebrapa kota lagi. Yang jelas ini adalah sebuah ruang apresiasi, tempat para penyair muda berjumpa, berdiskusi, dan bersilaturahmi.

Adapun nama-nama penyair muda dari Sumbar yang masuk pada proyek antologi Temu Penyair Muda Empat Kota (HERBARIUM) Pada temu penyair empat kota tahun lalu di antaranya: Ragdi F. Daye. Chairan Hafzan Yurma, Pinto Anugrah, Esha Tegar Putra, Fadhilla Ramadona, Risa Syukria, Joko Nugroho, Beny S, Iggoy El Fitra. Siapakah penyair-penyair muda sumbar yang bakal diundang pada pertemuan kalii ini? Siapa pun yang diundang, yang jelas, apa sumbangsih acara ini bagii masyarakat, proses pematangan kepenyairan, serta dalam peta kesusatraan di Indonesia (khususnya perpuisian Indonesia). Semoga saja acara ini terlaksana dengan baik dan banyak kemunculan nama-nama baru di ranah perpuisian, baik di daerah (Sumbar) atau di jagat perpuisian Indonesia. (Info/HMJ)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
02 January 2008

Sastra Harus Kembali ke Fitrahnya

Dianing Widya Yudhistira tidak pernah menduga Sintren,
novel debutan awalnya, akan masuk ke dalam jajaran
nominator peraih anugeran sastra Khatulistiwa 2007.
Banyak orang menduga ia menulis Sintren karena
terinspirasi dari Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Tapi ternyata tidak demikian adanya. Batang,
Pekalongan, tempat kelahirannya memberi Dian inspirasi
untuk menulis Sintren dengan beragam masalah yang
menyelubunginya: mulai dari soal kesenian daerah yang
telah punah, perjuangan perempuan, sampai dengan
kemiskinan yang melilit masyarakat di sana. Dianing
menuturkan gagasan serta saujananya tentang sastra dan
kebudayaan kepada Jurnal Nasional di sela-sela
kesibukannnya merampungkan novel terbarunya.
----

Anda, melalui novel Sintren, dinominasikan sebagai
penerima anugerah sastra
Khatulistiwa pada tahun ini. Bagaimana perasaan Anda?

Wah, saya senang sekali. Saya berharap dapat memenangi
anugerah itu setelah
berkali-kali cuma sampai tahap nominator saja. Naskah
novel saya yang
berjudul Weton cuma jadi finalis di DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta). Moga-moga
sekarang saya bisa meraih Khatulistiwa, doakan ya,
mas...

Hadiahnya cukup besar, akan Anda apakan jika menang?

Wah, semoga menang. Hadiahnya untuk pendidikan
anak-anak saya.

Sementara banyak penulis perempuan mengangkat tema
seksualitas, bisa Anda
ceritakan kenapa mengangkat tema sintren ke dalam
novel Anda?

Saya tertarik dengan budaya lokal yang kini perlahan
sudah mulai punah.
Lagipula sintren kini sudah jarang, bahkan sudah tak
ada lagi di daerah saya.
Kebetulan saya dilahirkan dan besar di Batang,
Pekalongan. Dulu waktu masih
SD, saya masih bisa nonton sintren. Tapi sekarang
sintren tidak ada lagi.
Yang ada malah cafe-cafe yang mulai menjamur. Bisa
dikatakan generasi seumur
anak saya praktis sudah tak bisa lagi menikmatinya.

Dengan demikian apa yang Anda hendak sampaikan kepada
pembaca dengan segala
macam problematika kebudayaan lokal yang Anda katakan
mulai punah tadi?

Dalam novel itu saya ingin mengatakan kepada pembaca
tentang tiga hal, pertama
tentang kebudayaan lokal itu sendiri, tentang
perjuangan perempuan dan juga
kemiskinan yang menjerat masyarakat, khususnya yang
berada di sana karena
lingkungan sekitar didominasi oleh kelompok marjinal
seperti nelayan, buruh,
petani dan lain sebagainya. Karena di sana, di Batang,
lingkungan nelayan
yang sampai kini masih terlilit kemiskinan. Kemudian
saya juga ingin
membangkitkan kembali sintren, siapa tahu karena
membaca karya saya ada
pembaca yang tertarik untuk menghidupkan sintren lagi.

Menghidupkan Sintren atau mengangkat derajat
masyarakat dari kemiskinan? Atau
kedua-duanya sama Anda anggap penting dalam novel
Anda.

Tentu, dua-duanya penting. Kemiskinan itu sangat
menyakitkan dan saya ingin
kemiskinan yang diderita masyarakat itu harus terus
diperjuangkan supaya
beranjak ke taraf yang lebih baik. Tokoh novel saya,
Saraswati itu kan tokoh
yang miskin, melalui itu saya ingin katakan bahwa di
sana, di daerah,
kemiskinan itu adalah hal yang nyata, yang benar-benar
terjadi. Berbeda
dengan Jakarta, di mana kekayaan menjadi pemandangan
sehari-hari,
gedung-gedung bertingkat berdiri megah dan mobil-mobil
mewah berseliweran.
Semua itu biasa di sini. Bahkan kelas menengah kini
sudah ikut miskin.
Begitulah kenyataan masyarakat yang saya tuangkan ke
dalam novel saya.
Melalui tokoh Saraswati itu, dia seorang perempuan
yang memiliki cita-cita
kuat untuk meneruskan pendidikannya hingga ke jenjang
SMEA (Sekolah Menengah
Ekonomi Atas, Red). Tetapi orangtuanya tak mampu
membiayai Saraswati, bahkan
menunggak SPP selama tiga bulan.

Anda menangkap gambaran itu dalam kehidupan nyata
sehari-hari yang pernah
alami di tempat kelahiran Anda?

Saya berangkat dari pengalaman nyata. Tokoh sintrennya
sendiri adalah kawan
saya. Jadi memang meskipun itu fiksi, semuanya jadi
bagian pengalaman hidup
saya. Kisah tersebut memang benar-benar terjadi,
seperti yang dialami oleh
kawan saya ketika masih duduk di bangku SMP di Batang.
Dia dropout dari
sekolah karena tak mampu membayar SPP. Itu realitas,
kenyataannya memang
demikian. Kita bisa melihat betapa kemiskinan bisa
menghambat orang untuk
dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Namun dalam
novel saya diceritakan
bagaimana Saraswati gigih berusaha untuk tetap
meneruskan sekolahnya, bahkan
dengan jalan menjadi sintren. Padahal tidak semua
orangtua di Batang itu
merelakan anaknya jadi sintren. Saraswati berani
menempuh apapun, termasuk
menjadi sintren dengan resiko yang berat, asalkan ia
tetap dapat melanjutkan
sekolahnya. Pada akhirnya saya hendak mengatakan bahwa
Saraswati adalah
perempuan yang tegar dan kuat, yang tak setuju jika
pada akhirnya perempuan
kelak setelah menikah harus berakhir di dapur. Saya
ingin mengatakan kalau
perempuan itu harusnya tegar dan kuat. Tapi memang
seringkali budaya dalam
masyarakat kita tak mendukung hal-hal seperti
demikian. Begitu juga di
Batang, para orangtua lebih senang menyekolahkan anak
lelakinya ketimbang
anak perempuannya. Mereka percaya jika anak perempuan
itu pada akhirnya harus
kembali juga ke dapur. Saya masih ingat ketika masih
remaja,

Perempuan tentang perempuan. Sama seperti novel-novel
karya penulis perempuan
lainnya. Apa yang membuat karya Anda berbeda dari yang
lain?

Seorang teman dari Semarang mengatakan pada saya kalau
novel perempuan itu
isinya paling itu-tu saja isinya. Saya ingin tidak
seperti itu, seperti
kebanyakan novel lain. Sejauh ini saya akan terus
menulis tentang budaya
lokal, sehingga karya saya berbeda dengan yang lain.
Pokoknya saya ingin
bicara bahwa beginilah yang saya ingin sajikan kepada
masyarakat. Saya ingin
mengatakan bahwa perempuan itu bukan mahluk lemah.
Dalam novel itu kan
disebutkan oleh si Mak Saras bahwa perempuan cukup
bisa baca dan tulis saja,
tokh nantinya balik ke dapur lagi. Memang kenyataannya
demikian, di Batang
anak perempuan selalu dinomorduakan dalam soal
pendidikan. Orangtua di sana
lebih suka menyekolahkan anak laki-lakinya, menata
mereka supaya kelak hidup
lebih baik. Sementara anak perempuan cuma diminta
membantu orangtua
menyelesaikan pekerjaan di rumah saja. Mereka paling
tinggi disekolahkan
hanya sampai SMP atau SMA saja. Dan orangtua di sana
biasanya bangga ketika
anak perempuannya dilamar orang kemudian menikah.
Dengan demikian orangtua
bisa lepas dari tanggungjawab finansial dan tak perlu
lagi repot menjaga
mereka karena sudah jadi tanggungjawab suaminya.

Di satu sisi Anda ingin mengangkat budaya lokal, tapi
pada sisi lain Anda
seperti menggugatnya?

Yang ingin saya dobrak, ingin saya buktikan kepada
masyarakat adalah bahwa
perempuan itu sebetulnya bisa tampil menjadi subyek,
bukan sebagai pihak yang
lemah saja atau pendamping suami belaka. Di kampung
saya, dan juga mungkin di
daerah lain di Indonesia, perempuan masih sekadar jadi
kanca wingking (teman
di belakang/ di dapur, Red). Mungkin itu berlaku
sampai sekarang. Walaupun
mereka jadi sarjana, bukan berarti saya merendahkan
mereka, perempuan di sana
yang ujung-ujungnya seperti yang tadi saya katakan,
hanya jadi kanca wingking
saja. Padahal kalau saja mereka mau, mereka bisa
berkarya dan orang akan
memandang mereka bukan sebagai istri atau perempuan
biasa saja, tapi juga
subyek.

Apakah Anda melakukan penelitian untuk memperkuat
penulisan novel itu?

Iya, betul. Untuk mendapatkan data-data, saya bersusah
payah melakukan riset
dan melakukan wawancara kepada orang-orang yang pernah
terlibat di dalam
kesenian sintren. Penelitian itu saya mulai tahun
2004. Mereka rata-rata
sudah berusia lanjut, sudah tua, ada yang berusia 70
tahun ke atas, bahkan
ada yang orang yang jadi sinden panjak itu sudah pikun
sampai-sampai saya
bingung harus bagaimana mewawancarai
dia...hahahaha. ...

Banyak orang mengatakan di dalam Sintren Anda meniru
Ahmad Tohari yang menulis
Ronggeng Dukuh Paruk. Lantas apa yang membedakan
Sintren dengan Ronggeng-nya
Ahmad Tohari?

Wah, ndaklah, novel punya saya berbeda dari karya
Ahmad Tohari. Begini,
pertama saya lahir tahun 1970-an ya, berbeda dengan
Ahmad Tohari yang sempat
mengalami masa-masa pergolakan pada tahun 1960-an,
terutama 1965. Saya memang
murni ingin mengatakan dalam sintren itu cukup tentang
perjuangan perempuan
saja. Memang tak ada unsur politik dalam novel
Sintren, tidak seperti pada
karya Ahmad Tohari. Karya saya ini tentang bagaimana
seorang perempuan
berjuang. Itu saja. Dan saya pikir politik tidak harus
selalu jadi tema dalam
sebuah novel, yang penting untuk menulis yang bagus ya
saya harus tahu betul
apa yang saya sedang tulis. Saya ingin novel saya lain
dari yang lain. Ayu
Utami semisal nulis politik dengan begini...begitu. ..
terus ada lagi beberapa
penulis yang menulis novel dengan tema kehidupan
perkotaan, tapi saya tidak
mau ikut terseret dengan tema-tema seperti demikian.
Saya merasa jadi bagian
dari kebudayaan lokal itu sendiri.

Selain Sintren, novel apa lagi yang Anda akan dan
sedang tulis? Apakah semua
tak jauh-jauh dari tema kebudayaan lokal?

Iya, tiga novel saya yang belum dipublikasikan juga
mengangkat persoalan
kearifan lokal. Semisal pada naskah novel Weton yang
sempat saya ikutkan
lomba DKJ kemarin. Dalam novel itu saya menceritakan
tentang weton
(perhitungan hari baik di dalam masyarakat Jawa, Red),
sekaligus mendobrak
kenyataan bahwa weton itu tak sesuai lagi dengan zaman
modern ini. Dan itu
hingga kini masih dianut kuat oleh orang Jawa, untuk
menghitung hari baik apa
kiranya di dalam melaksanakan sesuatu, semisal
pernikahan. Bahkan gara-gara
weton sampai-sampai ibu dan anak berpisah, gara-gara
weton hari lahir anaknya
sama dengan bapaknya. Dan itu dianggap tidak membawa
rezeki, jadi si anak
harus harus hidup terpisah dengan orangtuanya. Dalam
weton saya bicarakan
soal budaya Jawa yang berakar begitu kuat,
sampai-sampai orang pacaran pun
batal menikah hanya karena perhitungan wetonnnya tidak
ideal.

Tapi kan weton itu bagian dari kearifan lokal
masyarakat Jawa yang justru
seharusnya Anda lestarikan juga?

Dalam Weton ada hal yang tidak manusiawi. Saya ingin
mengatakan kepada
masyarakat Jawa bahwa semua hari itu baik, jangan
dipermasalahkan. Soalnya
weton itu sudah banyak memakan korban, teman saya pun
mengalami masalah
gara-gara weton. Dia gagal menikah hanya karena
dianggap wetonnya tidak
cocok. Tapi juga di bagian lain, ada yang disetujui
oleh orangtua kendati
wetonnya tidak cocok, namun tetap dipaksakan menikah.
Akibatnya mereka selalu
dirundung marabahaya. Nah yang begini yang selalu
dijadikan alasan buat
masyarakat untuk membuktikan bahwa weton itu penting.
Saya sendiri tidak
setuju dengan pendapat itu. Bagi saya apa yang menimpa
mereka bukan karena
wetonnya.

Anda punya komentar menyikapi kondisi kesusasteraan
Indonesia akhir-akhir ini?
Lantas bagaimana menurut pendapat Anda menyoal
menjamurnya komunitas sastra
di berbagai kota?

Menurut saya inilah sastra kita, ciri khas selalu ada.
Keberagaman dalam
sastra itu baik, bagus. Dan kondisi kesusasteraan
Indonesia menurut saya
baik-baik saja. Saya sendiri kurang berminat untuk
bergabung dengan komunitas
sastra, kalau ada undangan ya saya datang. Dengan
demikian saya bisa berbagi
dengan anggota komunitas itu. Saya lebih suka
individual.

Sebagai penulis Anda punya Ideologi gak sih?

Apa ya? Hahaha...Pokoknya apa yang saya tulis itu bisa
bermanfaat, ada unsur
nilai moralitasnya dan saya ingin apa yang saya tulis
bisa jadi bahan
perenungan bagi pembaca. Saya juga ingin mengedepankan
soal perempuan dan
juga ahlak manusia. Saya menulis tidak sekadar
memenuhi batin saja. Saya
ingin tulisan saya ditulis di ruangan terbuka. Saya
ingin kita kembali kepada
fitrahnya sastra, bahwa sastra itu karya yang bisa
membuat orang terenyuh,
bisa jadi peka dan memiliki pekerti yang luhur. Saya
kepingin karya sastra
bisa mencerahkan pembacanya, bukan sekadar sensasional
saj ya... karena ada
orang yang menulis hanya untuk sensasi saja. Tidak
mencerahkan.

Tolong Anda sebutkan contoh karya sensasional itu,
dong?

Nggak ah..saya juga ndak mau membuat sensasi
hahahaha... saya pikir pembaca
kita juga sudah cerdas, mereka bisa menilai sendiri
karya mana yang seperti itu.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)