dreamnicer version 1.0
18 April 2008

“Selamat Jalan Tuan Presiden”

Oleh Gusriyono


Gabriel Garcia Marquez, sastrawan Amerika Latin dalam cerpennya yang dterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Selamat Jalan Tuan Presiden, pernah bercerita tentang hari-hari terakhir seorang presiden yang pernah digulingkan dari kursi kekuasaannya. Dimana setiap sore Si Presiden duduk dibangku taman yang didepannya terdapat sebuah kolam tempat angsa bermain. Tidak ada yang menghiraukannya, semua orang seakan tak peduli bahkan berusaha untuk tidak mengenalnya. Begitulah ia menghabiskan sorenya di taman itu, menikmati sisa usianya. Kesepian orang besar yang dulu sangat berwibawa dan berkuasa.


Soeharto—anak petani Desa Kemusuk yang kemudian memimpin bangsa ini, barangkali—setelah lengsernya—mengalami juga kesepian seperti itu. Kesepian seorang penguasa dalam lalu-lalang pujian dan hujatan orang banyak, namun tetap tersenyum dengan lambaian tangan yang sama. Selama tiga puluh dua tahun menjalani rutinitas sebagai kepala negara dengan program pembangunan nasionalnya, Suharto telah memberi banyak warna dalam pembangunan bangsa ini. Semua orang mengaguminya dan tak jarang berusaha untuk menjadi orang terdekatnya. Namun ketika ia menarik diri dari kursi kepemimpinan, jadilah ia si penikmat sepi dalam usia yang kian uzur dalam deraan hujatan dan tuntutan.


Memang, adakalanya seperti pohon beringin tua di Pantai Padang yang beberapa waktu lalu tumbang. Pohon berumur ratusan tahun tersebut—yang tidak bisa ditebang dan tidak seorangpun berani mengganggunya, ketika telah tumbang siapa saja berani menaikinya termasuk katak yang hobinya meloncat-loncat pun berani bersuara diatas pohon rebah tersebut. Ketika sebuah kekuasaan dilepaskan dari diri kita, maka semuanya berbalik, keberpihakan menjadi ketidakberpihakan, kawan menjadi lawan dan sebagainya. Bahkan setiap orang seolah punya hak untuk menghujat dan menuntut pertanggung jawaban. Kadang dalam hiruk-pikuk persoalan tuntut menuntut tersebut, sumbangsih dan jasa sering terlupakan.


Namun, hal menarik dalam cerpen (baca; Selamat Jalan Tuan Presiden) Marquez tersebut, bagaimana Si Presiden menjadi bahan perdebatan penuh emosi antara suami dan istri dalam sebuah keluarga—tempat Si Presiden sering berkunjung. Dalam perdebatan tersebut Si Suami lebih membela Si Presiden sedangkan Si Istri lebih banyak mengkritisi dan menghujat Presiden tersebut. Suatu penggambaran yang sangat kontras sekali sebenarnya, keterwakilan antara yang membela dengan yang menghujat. Pihak yang membela digambarkan sebagai sosok lelaki, suami—kepala rumah tangga yang mempunyai wilayah kekuasaan. Sementara pihak yang mengkritisi atau menghujat diwakili oleh sosok perempuan, istri—pasangan kepala rumah tangga yang harus tunduk dan patuh kepada suami. Mungkin seperti itu jugalah penggambaran terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, yang kemudian di masa pensiunnya menjadi kasus dan meminta pertanggung jawaban. Sebab, walau bagaimanapun tidak semua kebijakan-kebijakannya memihak kepentingan orang banyak. Ada bagian-bagian dimana ia tampil sebagai otoriter dan bergaya Machiavelli. Niniek L. Karim dan Bagus Takwin (Kompas, 5 Mei 2000) mengatakan bahwa, seorang dengan kepribadian Machiavellian dan otoritarian, dengan latar belakang deprivasi beberapa kebutuhan dasar di masa kecil yang menetap sehingga cenderung membuatnya melakukan over kompensasi, bila memiliki juga kecerdasan yang tinggi, didukung kesempatan dan kondisi lingkungan, bisa menjadi pemimpin yang terlalu berkuasa. Kekuasaannya bisa mengarahkan dia menjadi seorang diktator, melakukan tindakan tirani.


Saat Si Presiden tidak lagi berkunjung ke keluarga tersebut, pasangan suami istri itu merasa ada yang hilang dari hidupnya. Tidak ada lagi perdebatan yang emosional waktu itu. Serupa Soeharto, yang menggenapkan usianya di titik 13:40 WIB, 27 Januari lalu. Semuanya kehilangan sosok yang selama ini penuh kontroversial. Orang-orang menundukkan kepala memberi penghormatan yang terakhir lengkap dengan isak tangis. Sesuai dengan filosofinya, kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan. Maka, bahambauanlah sekalian orang mengantar jenazah ke pandam pakuburan, tak kurang jua sedekah kaji dan zikir serta doa-doa mohon kelapangan jalan bagi almarhum menujuNya. Permintaan maaf terhadap kesalahan-kesalahan almarhum juga dimohonkan ahli waris. Bahkan negara menetapkan sebagai hari berkabung nasional yang ditandai dengan menaikkan bendera setengah tiang selama tujuh hari.


Sementara waktu, semua orang tertuju pada perkabungan dan pengenangan terhadap jasa-jasa almarhum, namun masih ada juga yang mempersoalkan dosa-dosa terhadap kesalahan yang barangkali tidak bisa dimaafkan secara lahir. Pertanyaannya, sebegitu pentingkah hal-hal tersebut dibaca saat tanah perkuburan masih merah, ketika hujan air mata masih menderas dan kabut duka masih menyelimuti.


Barangkali kita perlu mengarifi bersama apa yang sering disampaikan ahli waris dari orang yang meninggal dunia ketika kita pergi ta’ziah di kampung-kampung.

Nyampang ado nan indak bisa dikarilahan

Kok utang rokok nan babatang

Kok salang bareh nan bagantang

Kok tenggang pitih nan babilang

Lah taduah hujan, lah tarang kabuik

Datanglah kapado kami ahli warih almarhum

Disini termaktub bahwa ada waktunya—lah taduah hujan, lah tarang kabuik—disaat mana kita harus datang dengan persoalan-persoalan yang mungkin harus diselesaikan secara aturan atau hukum yang berlaku. Pemahaman pada filosofi seperti ini telah mengajarkan kita untuk bersikap bijak dalam menghargai kematian seseorang.

Ditaman, orang-orang tidak melihat lagi Tuan Presiden duduk dibangku menikmati sore sembari menyaksikan angsa-angsa bermain dikolam. Selamat Jalan Tuan Presiden!



Penulis, bergiat di Rumah Kreatif Kandangpadati serta Ranah Teater di Padang.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Temu Penyair Lima Kota (27-29 April 2008)

Dewan Kesenian Payakumbuh, Kantor Pariwisata Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatra Barat bekerja sama dengan komunitas-kumunitas seni dan sastrawan Sumatra Barat mengadakan hajatan puisi yang diberi nama Temu Penyair Lima Kota. Acara akan diisi oleh kegiatan diskusi sastra (puisi) dan kepenyairan di lima kota, launching buku kumpulan puisi, baca puisi, pementasan teater dan musik puisi. Beberapa tamu (penyair) yang diundang, antara lain:

Jogja : Abdul Khafi Syatra, As’adi Muhammad, Bernando J. Sujibto, Dwi Rahayoso, Faisal Kamandobat, Fahmi Am, Imam S Arizal, Indrian Koto, Joko Gesang Santoso, Komang Ira Puspita Ningsih, Mutia Sukma, Y. Thendra BP.

Bali : Aa. Putu Santiasa putra, I kadek Surya Kencana, Ni Ketut Sudiani, Ni Made Frisca Aswarini, Ni Made Purnama Sari, Ni Putu Destriani Devi, Ni Putu Rastiti, Pranita Dewi, Zinda Ruud Purnama.

Bandung : ......................

Sumbar : Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Heru JP, Iggoy El fitra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Feni Effendi, Fitra Yanti, Ragdi F Daye, Romi Zarma, Nilna R Isna, Fadilla Ramadona, Zelfeni Wimra, Dedy Arsya, Sayyid Madhani Syani.

Lampung : Fitri Yani, Inggit Putria Marga, Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alfian, Lupita Lukman.

peninjau : Aan Mansyur (Makasar), Irianto Ibrahim (Kendari), Syaiful Gani (Kendari), Titas Suwanda (Jambi), Nanang Tasurna (Jambi), Isan Mongkogita Dasin (Babel), Ira Esmeralda (Babel), Mamaqdudah (Babel), Wanda Leopolda (Jakarta), Irmansyah (Jakarta), Adien Histerya (Semarang), Lanang Q (Semarang), Surya Hadi (Pekanbaru), Rahmad Sanjaya (Aceh), M Yunus Rangkuti (Medan), Sobirin Zaini (Pekanbaru), Kedung Darma (Jogja), dll. Pembicara : Nur Zein Hae, Sudarmoko.

Salam Hormat,
Panitia Kegiatan



Panitia Kegiatan


Pelindung : Walikota Payakumbuh

Penasihat : Kepala Kantor Pariwisata Seni dan Budaya
Kota Payakumbuh
Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat

Pengarah : Gus tf
Yusril
Rusli Marzuki Saria

Penanggung jawab : Ketua Dewan Kesenian Kota Payakumbuh

Ketua Panitia : Iyut Fitra

Wakil Ketua : Ijot Goblin
Dony Prayuda

Sekretaris : Sudarmoko

Wakil Sekretaris : Khris La Deva

Bendahara : Yusra Maiza

Sekretariat : Zelfeni Wimra
Pinto Anugrah
Esha Tegar Putra

Bidang Acara : Romi Zarman
Yetti A KA
Wahyu MS
Della Nst
Sukra Maulana
Endi J
Aspon Dede
Feni Warnialis

Bidang Perlengkapan : Yongki Wahid
Yan Putra Utama
Sanur
Novandri
Syaiful Hadi
Feni Effendi

Konsumsi dan Akomodasi: Komunitas Seni Intro

Bidang Dana : AR Rahman
Reno Wulan Sari
Ria Febrina
Ganda Cipta
Riko Oktian Putra

LO : Mutia Ulfa
Dhini Rezky Husada
Deddy Arsya
Chairan Chafzan
Gusriyono


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
10 April 2008

Ini Peristiwa Puisi!

oleh: Esha Tegar Putra

...dalam kamar

dalam terang damar,

namaku seperti menggelupas

namamu seperti melepas,

meninggalkan si ampas kopi

membekap puisi yang belum jadi,...

(peristiwa kamar; Agus Hernawan)


Puisi, sebentuk rumah (mungkin juga disebut dunia) tempat bertumbuh-kembangnya “kata” bahkan “bahasa,” dimana pergulatan “nyata” memendam di dalamnya. Dimulai dari kelisanan bahasa, ia—puisi—dutuliskan di lontar, kulit binatang, sampai pada kertas-kertas kumuh. Selama ini mungkin hanya nama, dari si penyair Fanshuri bertolak ke Chairil, atau sederetan nama yang beberapa dekade ini muncul di lembaran koran dan majalah. “Mereka” tersebut dalam sederetan nama, tapi yang jelas “mereka” bangkit, hadir tersebab puisi.


Segala rasa, ide, pandangan tumpah dalam puisi yang membentuk semacam kristal. Puisi juga menjadi sebuah pertanda bagi setiap generasi yang pernah ada. Puisi bukan hanya sebentuk kata-kata yang terjalin dengan dengan indah, tapi lebih kepada pemaknaannya. Puisi sanggup membuat si penyair atau si pembaca masuk dan merasa; bahwa ia sendiri puisi itu!


Jika ditilik perjalanan perpuisi Indonesia modern sampai kini adalah perjalanan untuk meraih berbagai kebebasan Bermacam perambahan dalam perkembangan perpuisian modern di Indonesia kian berkembang. Dari penyair Pujangga Lama yang berkutat dengan bentuk pengucapan syair dan pantun, Pujangga Baru yang berusaha membebaskan diri dari hal itu, sampai pada dekade angkatan-angkatan yang dibuat berikutnya. Perubahan terhadap bentuk pada puisi pun makin berkembang dari masa ke masa. Perombakan terhadap kata-kata marak dilakukan para penyair di tahun 1970-an, dengan berbagai upaya pembebasan kata serta pemanfaatan serta kandungan nuansa kata yang didapat dari akar tradisi, di awal tahun 1980-an mulai dianggap selesai atau telah selesai pada titik jenuh. Tahun 1980-an perhatian utama penyair cenderung beralih pada imaji. Dan sekarang sebagian penyair (yang diistilahkan) mutahkir malah kembali menggali kearifan lokal.


Sejarah perkembangan perpuisi itu merupakan sebuah kritisme puisi. Seperti yang dikatakan oleh Arif bagus Prasetyo dalam Epinomenon: sebentuk peradaban impian nan gemilang di masa depan, sejarah hadir sebagai suksesi momen-momen kudus tatkala rasio dan utopia ditubuhkan dalam tindakan. Sejarah tidak lain sebagai area konflik yang mencabik-cabik tubuh masyarakat dalam berbagai kontradiksi sosial-politik.


Penyair datang membawa kabar penyembuhan bagi kontradiksi ini. Ditawarkannya sepetak tanah suaka ideal yang melindungi masyarakat dari horor perubahan dan kematian Memang begitulah penyair, puisi dan kesejarahan dari perpuisian Indonesia. Di dalam pusaran sejarah penyair itu membuat dunianya sendiri. Dunia yang mencipta dari jalinan teks-teks yang terus tumbuh dan berkembang.


Jika dilihat secara kuantitas maupun kualitasnya, karya sastra (puisi) yang terbit belakangan ini seperti datang berdesakan. Di lembaran sastra koran, majalah, buku, bakhan media paling instan seperti internet. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh terjadinya perubahan yang sangat mendasar dalam berbagai persoalan yang terjadi dari dalam diri si penyair itu sendiri.


***

Mereka adalah penyair, si pencipta puisi, orang-orang terlahir dari peristiwa puisi. Peristiwa-peristiwa yang bergumulan dengan teks-teks yang mirip picingan mata. Mengendap begitu saja. Teks-teks yang berbeda dengan lain di luar dunia sastra.


Dunia sastra? Ya, dunia yang penuh hiruk pikuk, penuh dengan segala macam pebaharuan, perputaran, pembalikan perlawanan terhadap teks-teks yang lain. sehingga dunia sastra membentuk sebuah dunia yang penuh dengan lapisan makna. Si penyair mungkin saja menulis kan “ini”, dan si pembaca atau pun si penelaah bisa sajamengartikannya “itu”, itulah puisi dengan rentetan peristiwa yang telah menggubah sebuah peradaban. Sebuah peradaban telah dirubah oleh peristiwa puisi?

***


Geliat dunia kesusastraan khususnya Sumatra Barat (Sumbar) dari masa ke masa kian menggairahkan. Banyak karya-karya sastra yang bermunculan dari Sumbar beriring dengan deretan nama yang terus saja bertambah. Ruang-ruang publikasi karya baik di koran lokal Sumbar, luar daerah Sumbar, ataupun koran-koran nasional dan berbagai majalah menjadi tempat yang menarik untuk “bertarung” karya.


Tentunya ruang-ruang itu mempunyai sebuah keterbatasan, bagaimana tidak, kebanyakan ruang-ruang itu terbit sekali sepekan. Tapi keterbatasan ruang-ruang publikasi karya di berbagai media itulah yang membuat sebuah iklim yang sehat bagi proses penciptaan karya. di mana, antara mereka yang melahirkan karya-karya berusaha untuk lebih baik dalam hal pencapaian.


Ada yang bertumbuh, tentu saja tidak semuanya yang terus bertumbuh. Sebagian terus tumbuh dan sebagian lagi ada yang tumbang. Itu memang sebuah hukum alam dalam sebuah proses. Tapi untuk mengimbangi hukum alam tersebut banyak hal-hal yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Contohkan saja dengan diadakannya bermacam lomba cipta karya (baik itu novel, cerpen, puisi), mengumpulkan karya-karya dalam sebuah buku, atau dengan mengadakan sebuah hajatan (pertemuan) antar para penggiat-penggiat sastra di dalam atau luar daerah Sumbar.


Untuk itulah tahun ini Dewan Kesenian Payakumbuh, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatra Barat mengambil sebuah inisiatif untuk menyeimbangi hukum alam tersebut, terkhusus dunia perpuisian. Dengan mengadakan sebuah acara temu antara penyair, para pemerhati puisi, dan masyarakat. Kerjasama antar beberapa elemen tersebut bertujuan untuk menghargai karya-karya para penyair—acara ini dikhususkan bagi para penyair-penyair muda—yang beberapa dekade ini nama mereka bermunculan di berbagai media seiring karya-karya mereka.


Pada dua rapat panitia di Kantor DKP (Dewan Kesenia Payakumbuh) dan markas Komunitas Intro (Payakumbuh) telah mendapat sebuah kesepakan bahwasanya acara ini akan diadakan pada tanggal 27-29 April mendatang, di Kota Payakumbuh. Acara ini yang diberi nama Temu Penyair Lima Kota. Di luar Sumatra Barat, empat daerah (atau kota) lain yang diundang penyair-penyair mudanya dalam acara ini adalah daerah Bali, Lampung, Jogja, Bandung. Masing-masing daerah akan mengutus 10 orang penyairnya untuk datang dan pemilihan itu dilakukan oleh kordinator masing-masing daerah yang telah ditunjuk oleh panitia acara. Masing-masing penyair yang diutus mengirimkan beberapa puisinya, yang mana, puisi itu akan dijadikan sebuah antologi yang akan diterbitkan pada pembukaan acara.


“Kami menyeleksi beberapa para penyair muda dari Sumbar dengan memperhatikan kekonsistenan dalam proses mereka berkarya!” Begitulah ungkap Iyut Fitra, koordonator terpilih untuk daerah Sumbar—selaku ketua pelaksana acara ini dan ketua Dewan Kesenian Payakumbuh.


Adapun beberapa nama para penyair muda dari Sumbar yang diundang dalam acara ini antara lain: Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Fadhila Ramadona, Feni Efendi, Esha Tegar Putra, Igoy El Fitra, Romi Zarman, Ragdi F Daye, Nilna R Isna, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Dedy Arsya, Zelfeni Wimra, Heru JP, Sayyid Madany Syani.


Di samping lima daerah yang diundang ada beberapa daerah lain yang diikutsertakan sebagai peserta peninjau antara lain Jakarta, Bangka Belitung, Jambi, Pekanbaru, dan kendari. Acara ini bermula dari pertemuan yang sudah diadakan di Bandung (2005) dan Jogja (2007).


Sumbar dipilih untuk menjadi panitia acara selanjutnya (setelah di Jogja, 2007) melalu kesepakat bersama sewaktu di Jogja. Dan setelah melalui beberapa perbincangan dengan beberapa komunitas-komunitas sastra, para sastrawan di Sumbar. Maka ditetapkan acara ini di Payakumbuh dengan melihat beberapa pertimbangan.


Acara Temu Penyair Lima Kota (singkat: TPLK) ini memang lebih memprioritaskan penyair-penyair muda sebagai pesertanya. Muda dan artian proses dan kredibilitas mereka sebagai penyair. Dan di acara TPLK nantinya akan dibahas berbagai persoalan mengenai perpuisian di Indonesia akhir-kahir ini, geliat perpuisian di daerah masing-masing dan beberapa permasalahan lain menyangkut publikasi karya. Menurut Sudarmoko (Sekretaris TLPK) dalam acara ini juga bakal di undang beberapa pembicara nasional, yaitu: Nur Zen Hae (Sastra Dewan Kesenian Jakarta), Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra dan redaktur di kompas), dan beberapa pembicara lokal.


Acara ini bertujuan juga untuk lebih mendekatkan lagi dunia kesuastraan (khususnya puisi) dengan masyarakat Sumbar. Dan tidak tertutup kemungkinan bagi siapa saja untuk datang. Selain acara diskusi, masing-masing penyair yang diundang ini nantinya akan membacakan puisi. Juga ada beberapa pertunjukan teater dan musik puisi yang akan diisi oleh komunitas-komunitas seni yang ada di Sumbar.


Semoga saja dengan adanya acara ini, makin menyemangatkan mereka yang bergelut di dunia perpuisian. Sekali lagi, “siapa saja boleh ikut nimbrung dalam acara ini!” Menurut panitia acara ini akan beralih tempat setiap tahunnya. Jika kemaren di Jogja, sekarang Sumbar, mungkin saja tahun besok diadakan di Bali atau di Kendari, bisa saja. Yang jelas ini bukan hanya sekadar hajatan biasa atau kongkow-kongkow. Berharap dengan adanya acara ini mungkin akan tumbuh lagi penyair-penyair (sastrawan) muda dari Sumbar khususnya yang akan menggairahkan dunia kesusastraan Indonesia.

* Panitia Temu Penyair Lima Kota
Tulisan ini pernah diterbitkan di koran Padang Ekspres (6/4/08)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
15 February 2008

SASTRA AWARD 2008

PENGHARGAAN terhadap para penulis memang perlu. Di samping penyemangat, adalah keharusan untuk menjadi bagian dari orang-orang yang peduli dengan dunia kepenulisan. Meskipun dihantam polemik (antara yang mempertanyakan kualitas dan mempertahankan kuantitas tulisan) penghargaan ini adalah awal penting sebab jarang-jarang Fakultas Sastra Unand memberikan penghargaan kepada penulisnya. Semoga SASTRA AWARD ini bisa berkelanjutan, untuk memacu adrenalin penulis muda agar giat menulis, dan menulis lagi. Semoga Pak Zul memarahi BEM Sastra yang telah lancang meniadakan Divisi Kreativitas dan Seni dalam kepengurusannya kini.

Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Andalas (FSUA) ke-26, FSUA akan memberikan SASTRA AWARD kepada mahasiswa dan dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas, dengan kategori:

MAHASISWA PENULIS PEMULA

Persyaratan:
  1. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Unand dengan menyerahkan Copy-an Kartu Tanda Mahasiswa.
  2. Mencantumkan nama jurusan atau fakultas dan nama universitas di bagian bawah tulisan.
  3. Jenis tulisan yang dihitung adalah artikel, esai, resensi buku, feature, cerita anak, cerita pendek, dan puisi yang pernah dipublikasikan selain dari surat kabar Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, dan Seputar Indonesia.
  4. Publikasi tulisan terhitung dari 1 Januari 2007-31 Desember 2007.
  5. Menyerahkan copy-an kliping tulisan yang telah dijilid rapi (untuk kategori ini covernya berwarna biru). Cantumkan nama kategori di bagian sudut kanan atas cover dan sertakan juga biodata lengkap.
  6. Tulisan yang disertakan harus mencantumkan nama Surat Kabar, Hari, dan Tanggal Pemuatan tulisan.
  7. Setiap mahasiswa penulis tidak dibenarkan mengikuti dua kategori.
  8. Batas akhir penyerahan 28 Februari 2008, pukul 16.00 WIB.
Hadiah:
  • Penulis Pemula Terproduktif I: Pembebasan biaya SPP selama 1 semester+Rp. 500.000
  • Penulis Pemula Terproduktif II: Pembebasan biaya SPP selama 1 semester+Rp.300.000
  • Penulis Pemula Terproduktif III: Rp.300.000
Sebelum penyerahan kliping, penulis harus menghubungi no. HP. 08126783639 untuk informasi lebih lanjut, dan membuat janji bertemu dengan pemilik no. HP. tersebut.

MAHASISWA PENULIS NASIONAL

Persyaratan:
  1. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Unand dengan menyerahkan copy-an Kartu Tanda Mahasiswa.
  2. Mencantumkan nama jurusan atau fakultas dan nama universitas di bagian bawah tulisan.
  3. Jenis tulisan yang dihitung adalah artikel, esai, resensi buku, feature, cerita anak, cerita pendek, dan puisi yang pernah dipublikasikan di surat kabar Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, dan Seputar Indonesia.
  4. Publikasi tulisan terhitung dari 1 Januari 2007-31 Desember 2007.
  5. Menyerahkan copy-an kliping tulisan yang telah dijilid rapi (untuk kategori ini covernya berwarna merah). Cantumkan nama kategori di bagian sudut kanan atas cover dan sertakan juga biodata lengkap.
  6. Tulisan yang disertakan harus mencantumkan nama Surat Kabar, Hari, dan Tanggal Pemuatan tulisan.
  7. Setiap mahasiswa penulis tidak dibenarkan mengikuti dua kategori.
  8. Batas akhir penyerahan 28 Februari 2008, pukul 16.00 WIB.
Hadiah:
  • Penulis Nasional Terproduktif I: Pembebasan biaya SPP selama 2 Semester+Rp.800.000
  • Penulis Nasional Terproduktif II: Pembebasan biaya SPP selama 1 semester+Rp.800.000
Sebelum penyerahan kliping, penulis harus menghubungi no. HP. 081374691471 untuk informasi lebih lanjut, dan membuat janji bertemu dengan pemilik no. HP. tersebut.

DOSEN PENULIS NASIONAL

Persyaratan:
  1. Terdaftar sebagai dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas.
  2. Mencantumkan nama jurusan atau fakultas dan nama universitas di bagian bawah tulisan.
  3. Jenis tulisan yang dihitung adalah artikel, esai, resensi buku, feature, cerita anak, cerita pendek, dan puisi yang pernah dipublikasikan di surat kabar Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, dan Seputar Indonesia.
  4. Publikasi tulisan terhitung dari 1 Januari 2007-31 Desember 2007.
  5. Menyerahkan copy-an kliping tulisan yang telah dijilid rapi (untuk kategori ini covernya berwarna kuning). Cantumkan nama kategori di bagian sudut kanan atas cover dan sertakan juga biodata lengkap.
  6. Tulisan yang disertakan harus mencantumkan nama Surat Kabar, Hari, dan Tanggal Pemuatan tulisan.
  7. Setiap mahasiswa penulis tidak dibenarkan mengikuti dua kategori.
  8. Batas akhir penyerahan 28 Februari 2008, pukul 16.00 WIB.
Hadiah:
  • Dua dosen penulis nasional terproduktif: Hard Disk Eksternal (kapasitas 80 GB)
Sebelum penyerahan kliping, penulis harus menghubungi no. HP. 081363215384 untuk informasi lebih lanjut, dan membuat janji bertemu dengan pemilik no. HP. tersebut.

Selain itu, FSUA juga memberikan sebuah buku kepada masing-masing mahasiswa penulis dengan syarat telah menyerahkan copy-an kliping tulisan. Pemenang akan diumumkan dalam acara Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Andalas ke-26, pada 7 Maret 2008.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

SELAMAT BERBAHAGIA

HMJ Sastra Indonesia Universitas Andalas mengucapkan

SELAMAT BERBAHAGIA

Kepada bang Ade Efdira (Ragdi F. Daye) yang melangsungkan pernikahan beberapa minggu yang lalu. Semoga bisa menjadi keluarga yang sakinah.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

LAD 2007 BATAL ATAU DIUNDUR?

KAMIS tanggal 14 Februari 2008, panitia LAD (Latihan Alam Dasar) 2007 sibuk bukan kepalang. Stres, menghinggapi setiap kepala panitia. Menurut rencana, LAD akan diadakan Jumat besoknya tanggal 15-17 Februari 2008. Namun, karena gesekan dengan peserta yang "membandel" akhirnya panitia memutuskan untuk membatalkan perencanaan LAD keesokan harinya.

Pembatalan disinyalir karena koordinasi antara panitia dengan peserta acara (BP 07) tidak optimal. Tetapi menurut salah seorang panitia yang tidak mau disebutkan namanya, dengan nanar ia sebutkan bahwa: "BP 07lah yang terlalu manja dan banyak alasan. Kalau alasannya masuk akal, ok-lah bisa diterima. Tetapi, alasan yang dikemukakan sering tidak logis. Bilang saja tak mau pergi, sehingga panitia tak susah-susah kesana-kemari, di damprat sana-sini."

Konsep yang telah dirembukkan bersama mengharuskan peserta untuk membawa peralatan masak, dan kebutuhan pribadi lainnya. Hal ini, diupayakan agar di antara peserta tercipta kondisi mandiri di samping mengetahui dasar-dasar teater dan kepenulisan.

Keberatan yang diajukan oleh anak 07 dinilai panitia tak menjadi alasan. "Kita pergi LAD bukan main-main dan tidak sekedar pemberian materi, tetapi membina pribadi agar mandiri." begitulah kutipan yang sering dilontarkan oleh ketua LAD Nofrizal.

Dengan amarah yang menggebu (karena panitia juga manusia), panitia mengancam LAD batal dan anak 07 tak "diakui" dan akan diacuhkan keberadaannya di masyarakat Sastra Indonesia. Namun, ancaman itu akhirnya luluh juga, setelah panitia berembug oleh salah satu SC (Abenk). Acara tetap akan dilaksanakan tetapi diundur hingga 2 minggu ke depan sehingga tanggal 29-2 Maret 2008 adalah tanggal yang dilirik untuk dilaksanakan LAD.

Semoga, LAD tetap jadi karena ia adalah harapan bagi regenerasi peduli jurusan Sastra Indonesia. Khususnya, Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
09 February 2008

Menyibak Tirai "Hujan Bulan Juni' Sapardi Djoko Damono

Oleh: Lia Octavia

Puisi, menurut kamus Wikipedia Indonesia, berasal dari bahasa Yunani kuno poieo/poio yang berarti I create atau saya menciptakan. Adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain aerti semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rhyme adalah yang membedakan puisi dari prosa. Namun perbedaan ini masih diperdebatkan karena beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagia jenis literature tetapi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas.

Sedangkan penyair adalah seseorang yang menulis/mengarang karya puisi. Karya ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi budaya dan intelektual dan ditulis dalam suatu bahasa tertentu. Beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.

Salah satu penyair besar Indonesia yang dikenal luas adalah Sapardi Djoko Damono. Dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940 dan di tempat itu pula ia menghabiskan masa-masa indah dari kanak-kanak hingga dewasa. Pertama kali menulis puisi pada kelas 2 SMA dan sebagian besar masa mudanya diabdikan pada berbagai kegiatan kesenian, diskusi sastra, membaca puisi, siaran sastra di RRI Yogya dan Solo, menyutradarai pementasan drama, main musik dan sebagainya. Sajaknya pertama kali dimuat di ruangan kebudayaan tabloid Pos Minggu, Semarang, tahun 1957. Sejak itu, para penikmat puisi dapat menjumpai puisi-puisinya di berbagai media. Pada tahun 1986, tiga buah esai dan sejumlah sajaknya diterjemahkan dan diterbitkan di Jepang sebagai salah satu penerbitan sastra dunia. Sejak itu, sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman dan Arab, serta diterbitkan dalam berbagai bunga rampai dan majalah di Negara-negara tersebut.

Hujan Bulan Juni – Sepilihan Sajak terbitan Grasindo, adalah kumpulan sajak-sajak yang ditulisnya dalam rentang waktu 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Puisi-puisi yang ditulisnya banyak diilhami dan tentang manusia; pengalaman mereka, perasaan mereka, karakter mereka dan tentu saja, cinta. Puisi-puisinya yang peka dan melarutkan jiwa-jiwa bercita rasa tinggi ke dalamnya.

Seperti penuturannya tentang suasana malam di Solo yang tertuang dalam puisinya yang berjudul "Pada Suatu Malam" sebagai pembuka kumpulan sajaknya. Tempat di mana ia lahir dan menghabiskan hampir sebagian besar masa-masa mudanya di Solo. Ia bertutur tentang kematian, kesadaran akan waktu hidup di dunia fana ini yang hanya sebentar dan kenangan yang ditinggalkan seseorang yang sudah meninggal dalam "Tentang Seorang Penjaga Kubur Yang Mati", "Saat Sebelum Berangkat", "Berjalan Di Belakang Jenazah", "Sehabis Mengantar Jenazah", "Lanskap" dan "Ziarah". Simak saja tuturnya mengenai umur manusia sebagai berikut:

Sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
Waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
Putih, kita pun putih memandangnya setia
Sampai habis semua senja

Ketergantungannya pada Sang Pencipta juga menghasilkan puisi-puisi dari perjalanan perenungannya setiap hari; "Dalam Doa I", "Dalam Doa II", "Dalam Doa III", "Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka". Kesadaran betapa ringkihnya jiwa manusia yang awalnya seharum bunga lalu kemudian dapat terjebak dalam nafsu manusiawi yang risau. Di saat kata-kata melebur menjadi cahaya dan berucap doa pada pertemuan dengan Sang Cinta di heningnya malam.

Cinta, ilham yang selalu tak habis-habisnya digali dan bertaburan dalam bait-bait puisinya. Cinta yang sederhana, yang tak pernah mengharap balasan dan kerap kali menjadi ikon bahasa cinta anak-anak muda terlukis dengan indah, mendalam, menggetarkan jiwa dan tentu saja sederhana dalam "Aku Ingin":

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Rasanya lidahpun kelu dan hanya kedalaman rahasia hati insani yang mampu mengomentari puisi indah ini. Begitu pula ungkapan hatinya dalam doa untuk orang yang tercinta pada "Dalam Doaku":

…aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu…

Sederhana dan menusuk jiwa. Juga puisi-puisinya yang melukiskan agungnya pernikahan, gambaran kesempurnaan insani dalam agama-Nya dalam "Pertemuan" dan "Sajak Perkawinan":

… perkawinan tak dimana pun, tak
kapan pun
kelopak demi kelopak terbuka
malam pun sempurna

Kehidupan dunia yang bak panggung sandiwara inipun tak lepas mengilhami Sapardi untuk menggubah bulir-bulir nyanyian opera menjadi kata-kata penuh makna yang mengejek dunia. Seperti dalam puisinya "Sandiwara I", "Topeng" dan "Sandiwara 2" yang ditulisnya untuk Yudhis dan Putu Wijaya serta:

…bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampu
semakin redup – kursi itu tetap bergoyang. Kita, penonton,
harus pulang sebelum sempat lagi ketawa.

Begitu juga ungkapan tentang jarak dan waktu dalam pencarian jati diri yang tak lekang dilarung waktu dalam "Sonet:Y", "Jarak", "Sonet:X" dan "Yang Fana Adalah Waktu":

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.

Hujan, yang merupakan tema yang diambil Sapardi dalam bukunya ini, tak pelak lagi menghujani halaman-halaman rumah dunianya. Simak saja dalam "Hujan Dalam Kompisisi, I", "Hujan Dalam komposisi, 2", "Hujan dalam Kompisisi, 3", "Percakapan Malam Hujan" dan "Hujan Bulan Juni" yang umumnya menggambarkan personifikasi luruhnya hujan untuk menyuburkan ranah-ranah kehidupan:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yangtak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Terlepas dari genre, antara ambiguitas dan konvensi puisi, struktur, pemilihan diksi dan kosa kata yang digunakannya, melebur ke dalam jiwa karya-karya Sapardi adalah suatu petualangan yang unik, menambah warna warni pelangi wawasan, menikmati kebebasannya dalam berkata-kata, meresapi renungan-renunganny a dan relasinya dengan Sang Maha Kuasa serta bagaimana menghargai hidup bersama esensinya dengan tanpa khawatir untuk mengawali perubahan itu sendiri. Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini yang terjadi, yang terbuat dan yang terjejak adalah mata air pelajaran yang penuh hikmah dan tidak ada yang sia-sia.

hujan turun semalaman
paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu
kapan harus berbuat sesuatu, agar kita
merasa tidak sepenuhnya sia-sia.

Seperti yang dikatakan seorang sahabat kepadaku, "Tenggelam dalam puisi adalah keniscayaan. " Dan niscaya setelah tenggelam dalam hujan bulan juni, rangkaian kisah hidup terkuak, tirai-tirai hujan kehidupan tersibak, hingga akhirnya kita meretas menjadi cahaya di persinggahan sementara ini dalam perjalanan menuju keabadian di dalam birunya samudera jiwa.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Gairah Kesusastraan di Sumatra Barat

Beberapa bulan ke depan, (dengar-dengar kabar) Sumatra Barat rencananya akan menjadi tuan rumah dari "Temu Sastra 5 Kota (Padang, Bali, Bandung, Yogyakarta dan Lampung)"--sebelumnya 4 kota minus Lampung. Kabar ini tidak main-main, elemen kesusastraan terkait seperti Taman Budaya, DKSB, dan komunitas-komunitas sastra sudah bergerak demi tercapainya kesempurnaan acara tersebut.

Perjalanan kesusastraan di Sumatra Barat jika dilihat dengan mata telanjang memang terus-menerus bergerak. Regenerasi penulis-penulis tak ada hentinya, menjadikan Sumatra Barat lahan subur bagi lahirnya bibit-bibit sastrawan. "Semangat dan kontinuitas adalah modal penting jika ingin jadi penulis" begitu yang tampaknya diyakini oleh generasi sastra di wilayah yang juga sering disebut sebagai Minangkabau.

Tetapi, masih ada yang perlu dikritisi dan dibenahi. Tulisan Muhammad Subhan di Kabar Indonesia mungkin bisa menjadi referensi tentang apa yang mesti dibenahi itu.

Yang sedang saya "tafakuri" saat ini-tepatnya beberapa tahun terakhir-adalah fenomena keringnya kualitas cerpen-cerpen yang dilahirkan penulis Sumatra Barat untuk koran di daerah sendiri. Bahkan yang lebih kering lagi, adalah minimnya kritik sastra untuk cerpen-cerpen yang muncul di sejumlah koran terbitan Padang.


Kalimat berhuruf tebal di atas itulah yang perlu dibenahi oleh elemen sastra di Sumbar. Apakah cerpen-cerpen (karya sastra lain) yang terbit di Padang memang sebegitu sampahnya hingga tak layak untuk diapresiasi? Atau, apakah yang menulisnya bukan penulis besar seperti Gus Tf, Iyut, Yusrizal KW, Harris Efendi Thahar dll.? Atau, koran-koran di Padang yang dianggap tidak berkualitas?

Apa yang ditulis oleh Muhammad Subhan juga yang saya pertanyakan kepada elemen sastra di Sumbar. Tentu daftar ini masih akan panjang jika ditambahkan dengan miskinnya proyek buku sastra yang dijalankan. Kalau memang ada, terbatas pada penulis-penulis senior. Kadang-kadang saya berpikir, penulis muda Sumbar memang banyak tetapi tak (kurang) difasilitasi. Jikalau ada fasilitas itu, hanya sekedar perpanjangan tangan dari ide-ide si pemberi fasilitas. Penulis muda pun mandul berkreativitas karena otaknya telah dijajah oleh ide-ide si fasilitator.

Kurang produktifnya cerpenis-cerpenis Sumbar di "kampoeng" sendiri, menurut hemat saya, karena masih rendahnya penghargaan koran terhadap karya-karya mereka. Penghargaan yang saya maksud, mungkin secara finansial sebagai input "kerja keras" mereka. Melalui esai ini, saya merasa risih menyebut berapa jumlah honor yang akan diterima penulis untuk setiap cerpen yang dipublikasikan di koran bersangkutan. Artinya, honor untuk cerpenis Sumatra Barat di daerah sendiri masih sangat rendah.


Sebenarnya riskan membicarakan permasalahan ini. Salah-salah langkah bisa di-cap Kapitalis. Dan penulis muda, kebanyakan anti kapitalis. Saya membenarkan apa yang disebut Subhan dengan "input kerja keras". Media di Padang memang belum serius menanggapi keseriusan para penulisnya. "Batu loncatan" adalah esensi yang diyakini sebagian besar penulis. Hal ini sudah jadi rahasia umum di kalangan media tersebut maupun penulis-penulis.

Oleh karena itu, apakah kesusastraan Sumbar akan tetap dibiarkan seperti ini saja?


Read more....
(0 comments at js-kit.com)