dreamnicer version 1.0
08 January 2008

Sastra, Metafora dalam Dunia(nya)

ADALAH kekeliruan ketika orang-orang menyebut sastra, dunia yang penuh dengan kesunyian, dunia yang menyepi sendiri. Sastra penuh dengan keramaian, penuh dengan keriuhan. Yang dianggap sunyi itu mungkin proses dari penciptaan karya sastra, di mana seseorang (di antara ribuan) sastrawan menciptakan karya dengan membangun dunianya sendiri. Dunia yang terpaksa disepikan untuk menghasilkan sebuah karya yang bermanfaat bagi pembacanya.

Sejarah perkembangan kesusastraan (baca; dunia sastra) di Indonesia telah panjang. Sejarah yang ingin selalu meraih kebebasannya sendiri, mendapatkan tempatnya sendiri, dan menolak segala pengekangan terhadap sebuah proses. Itu merupakan hal yang lazim. Menciptakan sebuah karya akan baik jika proses itu terbangun jauh dari pengekangan terhadap ide.

Sastra merupakan jawaban dari sekian banyak kesakitan, jawaban kesenangan, cinta, dunia, perang, mimpi, dan segala hal yang menyangkut rasa. Tidak salah jika Arif bagus Prasetyo (2005:104) menyatakan serupa ini tentang sastra di Indonesia—perspektif terhadap seorang penyair: atas nama sebentuk peradaban impian nan gemilang di masa depan, sejarah hadir sebagai suksesi momen-momen kudus tatkala rasio dan utopia ditubuhkan dalam tindakan. Namun itulah arak-arakan yang penuh luka dan trauma di sepanjang lintasannya: tumbuhnya nasionalisme, revolusi 1945, prahara 1965 dan, tentu saja, bangkitnya rezim otoriter pembangunan. Sejarah tidak lain sebagai area konflik yang mencabik-cabik tubuh masyarakat dalam berbagai kontradiksi sosial-politik. Penyair datang membawa kabar penyembuhan bagi kontradiksi ini. Ditawarkannya sepetak tanah suaka ideal yang melindungi masyarakat dari horor perubahan dan kematian.

Begitulah Arif membaca sejarah sastra di Indonesia. sastra yang selalu berhubungan dengan masyarakat tempatnya berkembang. Sastra yang penuh dengan “warna” campuran antara masalah dan perdebatan. Tapi itu merupakan sejarah yang dibaca dan telah terbaca. Dan akan selalu menjadi tonggak, atau setidaknya penopang bagi perkembangan sastra.

Dalam sehari sekian banyak karya sastra yang lahir dari tangan ratusan (mungkin ribuan) sastrawan, dari pusat sampai ke daerah pelosok di Indonesia. Sekian banyak yang terbit di koran-koran setiap Minggunya. Dan setiap tahunnya sekian buku karya sastra diterbitkan—walau di balik semua itu banyak juga karya yang tercecer dan tidak mendapatkan tempat (dan terkadang mencari tempatnya sendiri). Itulah sastra, dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk pemikiran tentang segala hal. Sastra yang hidup dengan metafor-metafor.

Saya teringat tulisan bapak Fadlillah Malin Sutan Kayo Akhir Tahun di Negeri Senja, pada Sastra (Singgalang Minggu, 6 Januari 2008) dan saya ingin menyangkutkan dengan tulisan ini—tentang sastra dan metafora. Fadlillah membahas tentang Barat dan Timur, lalu menyulam tulisannya dengan metafora dari cerpen Seno Gumira Ajidarma (2003) yang memakai metafora Negeri Senja. Metafora yang dianggap sebentuk pola, cara pandang, visi:

...Pola negeri senja, dapat dipahami pada putaran waktu pada masa tua, namun tragiknya, waktu itu tidak berputar, waktu itu menetap, tidak ada satu orang tokoh, kelompok, kaum, tapi pada satu negeri. Pola budaya negeri senja itu berkuasa pada suatu negeri, budaya, politik, sehingga masa depan tidak ada di negeri itu.

Di sanalah (karya sastra) bermain dengan metafor-metafornya. Penciptaan dunia sendiri dari realitas yang tidak bisa diterima dengan akal dimainkan dengan rasa, dengan penyelipan berbagai mediasi benda hidup ataupun tidak (metafora). Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, dari peralihan ke peralihan yang menimbulkan guncangnya kebudayaan. Sastra tetap hadir melawan pesimistis dari realitas yang mengungkung kehidupan.

Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah peralihan lagi (dan akan tetap begitu seterusnya), peralihan dari tahun 2007 ke 2008. peralihan itu (bagi dunia sastra) hanya sebuah konteks waktu yang membuat dunia sastra itu menemukan hal-hal yang baru, tanpa meninggalkan yang lama. Konteks hanya akan mengganti sebuah kolofon, mengganti penanda, penanggalan pada sebuah karya. Mungkin akan bermunculan lagi puluhan (bahkan ratusan) sastrawan dengan ribuan karya pada tahun ini—dan semoga saja begitu setiap tahunnya.

Tapi akankah karya yang lahir itu hanya sebuah manifestasi, atau eksistensi, dari seorang sastrawan? Akankah dunia yang dianggap sunyi—padahal hiruk-pikuk itu tetap saja terjadi—itu menjadikan kesunyian berlanjut bagi masyarakat sastra karena tidak adanya sebuah “pencapaian” dalam karya sastra? Tetap saja sastra akan begitu, karya melahir, dibaca, dikritik (mungkin juga tidak) dan wacana baru.

Kesusastraan hidup dalam pikiran. Di dalam sejarah kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya akan menjulang dengan sendirinya, di tengah hiruk-pikuk macam apa pun yang diprogram secara terperinci lewat media komunikasi massa. Rekayasa media massa yang paling canggih pun akan cepat lumer seperti es krim, namun kesusastraan yang ditulis di atas kertas cebok di padang-padang pengasingan, dari Buru sampai Siberia, dari detik ke detik memunculkan dirinya, bicara dalam segala bahasa di delapan penjuru angin (2005 : 2)

pernyataan di atas ini bukanlah perlawanan seorang sastrawan, ungkap Seno Gumira Ajidarma. Tapi setidaknya kalimat ini telah mengungkapkan perihal sastra dan dunianya. dunia yang akan terus bergerak, di dalam pikiran. Meski hanya dengan “bergumam”, sastra akan terus menyampaikan sesuatu dengan karya-karya. dan semoga saja tahun ini (juga selanjutnya) akan bertebaran terus karya-karya sastra, walau hiruk-pikuk berbagi permasalahan terjadi.

Sastra dan metafor-metafor yang bertebaran, serupa air laut dan asin. Jika dipisah menjadikan sesuatu yang lain, sesuatu yang (c)air, tapi bukan air laut. Jika berbagai persoalan realitas menjadi sebuah jeruji, di dalam itulah sastra akan bermain. Dunia yang akan tercipta dengan sendirinya.

Kandangpadati, Januari 2007

*) Esha Tegar Putra adalah ketua HMJ Sastra Indonesia UNAND. Bergiat di Komunitas Daun dan Aktor Ranah Teater Padang.

Easy leave message, here!
(0 comments at js-kit.com)

0 comments: