dreamnicer version 1.0
18 April 2008

“Selamat Jalan Tuan Presiden”

Oleh Gusriyono


Gabriel Garcia Marquez, sastrawan Amerika Latin dalam cerpennya yang dterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Selamat Jalan Tuan Presiden, pernah bercerita tentang hari-hari terakhir seorang presiden yang pernah digulingkan dari kursi kekuasaannya. Dimana setiap sore Si Presiden duduk dibangku taman yang didepannya terdapat sebuah kolam tempat angsa bermain. Tidak ada yang menghiraukannya, semua orang seakan tak peduli bahkan berusaha untuk tidak mengenalnya. Begitulah ia menghabiskan sorenya di taman itu, menikmati sisa usianya. Kesepian orang besar yang dulu sangat berwibawa dan berkuasa.


Soeharto—anak petani Desa Kemusuk yang kemudian memimpin bangsa ini, barangkali—setelah lengsernya—mengalami juga kesepian seperti itu. Kesepian seorang penguasa dalam lalu-lalang pujian dan hujatan orang banyak, namun tetap tersenyum dengan lambaian tangan yang sama. Selama tiga puluh dua tahun menjalani rutinitas sebagai kepala negara dengan program pembangunan nasionalnya, Suharto telah memberi banyak warna dalam pembangunan bangsa ini. Semua orang mengaguminya dan tak jarang berusaha untuk menjadi orang terdekatnya. Namun ketika ia menarik diri dari kursi kepemimpinan, jadilah ia si penikmat sepi dalam usia yang kian uzur dalam deraan hujatan dan tuntutan.


Memang, adakalanya seperti pohon beringin tua di Pantai Padang yang beberapa waktu lalu tumbang. Pohon berumur ratusan tahun tersebut—yang tidak bisa ditebang dan tidak seorangpun berani mengganggunya, ketika telah tumbang siapa saja berani menaikinya termasuk katak yang hobinya meloncat-loncat pun berani bersuara diatas pohon rebah tersebut. Ketika sebuah kekuasaan dilepaskan dari diri kita, maka semuanya berbalik, keberpihakan menjadi ketidakberpihakan, kawan menjadi lawan dan sebagainya. Bahkan setiap orang seolah punya hak untuk menghujat dan menuntut pertanggung jawaban. Kadang dalam hiruk-pikuk persoalan tuntut menuntut tersebut, sumbangsih dan jasa sering terlupakan.


Namun, hal menarik dalam cerpen (baca; Selamat Jalan Tuan Presiden) Marquez tersebut, bagaimana Si Presiden menjadi bahan perdebatan penuh emosi antara suami dan istri dalam sebuah keluarga—tempat Si Presiden sering berkunjung. Dalam perdebatan tersebut Si Suami lebih membela Si Presiden sedangkan Si Istri lebih banyak mengkritisi dan menghujat Presiden tersebut. Suatu penggambaran yang sangat kontras sekali sebenarnya, keterwakilan antara yang membela dengan yang menghujat. Pihak yang membela digambarkan sebagai sosok lelaki, suami—kepala rumah tangga yang mempunyai wilayah kekuasaan. Sementara pihak yang mengkritisi atau menghujat diwakili oleh sosok perempuan, istri—pasangan kepala rumah tangga yang harus tunduk dan patuh kepada suami. Mungkin seperti itu jugalah penggambaran terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, yang kemudian di masa pensiunnya menjadi kasus dan meminta pertanggung jawaban. Sebab, walau bagaimanapun tidak semua kebijakan-kebijakannya memihak kepentingan orang banyak. Ada bagian-bagian dimana ia tampil sebagai otoriter dan bergaya Machiavelli. Niniek L. Karim dan Bagus Takwin (Kompas, 5 Mei 2000) mengatakan bahwa, seorang dengan kepribadian Machiavellian dan otoritarian, dengan latar belakang deprivasi beberapa kebutuhan dasar di masa kecil yang menetap sehingga cenderung membuatnya melakukan over kompensasi, bila memiliki juga kecerdasan yang tinggi, didukung kesempatan dan kondisi lingkungan, bisa menjadi pemimpin yang terlalu berkuasa. Kekuasaannya bisa mengarahkan dia menjadi seorang diktator, melakukan tindakan tirani.


Saat Si Presiden tidak lagi berkunjung ke keluarga tersebut, pasangan suami istri itu merasa ada yang hilang dari hidupnya. Tidak ada lagi perdebatan yang emosional waktu itu. Serupa Soeharto, yang menggenapkan usianya di titik 13:40 WIB, 27 Januari lalu. Semuanya kehilangan sosok yang selama ini penuh kontroversial. Orang-orang menundukkan kepala memberi penghormatan yang terakhir lengkap dengan isak tangis. Sesuai dengan filosofinya, kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan. Maka, bahambauanlah sekalian orang mengantar jenazah ke pandam pakuburan, tak kurang jua sedekah kaji dan zikir serta doa-doa mohon kelapangan jalan bagi almarhum menujuNya. Permintaan maaf terhadap kesalahan-kesalahan almarhum juga dimohonkan ahli waris. Bahkan negara menetapkan sebagai hari berkabung nasional yang ditandai dengan menaikkan bendera setengah tiang selama tujuh hari.


Sementara waktu, semua orang tertuju pada perkabungan dan pengenangan terhadap jasa-jasa almarhum, namun masih ada juga yang mempersoalkan dosa-dosa terhadap kesalahan yang barangkali tidak bisa dimaafkan secara lahir. Pertanyaannya, sebegitu pentingkah hal-hal tersebut dibaca saat tanah perkuburan masih merah, ketika hujan air mata masih menderas dan kabut duka masih menyelimuti.


Barangkali kita perlu mengarifi bersama apa yang sering disampaikan ahli waris dari orang yang meninggal dunia ketika kita pergi ta’ziah di kampung-kampung.

Nyampang ado nan indak bisa dikarilahan

Kok utang rokok nan babatang

Kok salang bareh nan bagantang

Kok tenggang pitih nan babilang

Lah taduah hujan, lah tarang kabuik

Datanglah kapado kami ahli warih almarhum

Disini termaktub bahwa ada waktunya—lah taduah hujan, lah tarang kabuik—disaat mana kita harus datang dengan persoalan-persoalan yang mungkin harus diselesaikan secara aturan atau hukum yang berlaku. Pemahaman pada filosofi seperti ini telah mengajarkan kita untuk bersikap bijak dalam menghargai kematian seseorang.

Ditaman, orang-orang tidak melihat lagi Tuan Presiden duduk dibangku menikmati sore sembari menyaksikan angsa-angsa bermain dikolam. Selamat Jalan Tuan Presiden!



Penulis, bergiat di Rumah Kreatif Kandangpadati serta Ranah Teater di Padang.


Read more....
(0 comments at js-kit.com)

Temu Penyair Lima Kota (27-29 April 2008)

Dewan Kesenian Payakumbuh, Kantor Pariwisata Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatra Barat bekerja sama dengan komunitas-kumunitas seni dan sastrawan Sumatra Barat mengadakan hajatan puisi yang diberi nama Temu Penyair Lima Kota. Acara akan diisi oleh kegiatan diskusi sastra (puisi) dan kepenyairan di lima kota, launching buku kumpulan puisi, baca puisi, pementasan teater dan musik puisi. Beberapa tamu (penyair) yang diundang, antara lain:

Jogja : Abdul Khafi Syatra, As’adi Muhammad, Bernando J. Sujibto, Dwi Rahayoso, Faisal Kamandobat, Fahmi Am, Imam S Arizal, Indrian Koto, Joko Gesang Santoso, Komang Ira Puspita Ningsih, Mutia Sukma, Y. Thendra BP.

Bali : Aa. Putu Santiasa putra, I kadek Surya Kencana, Ni Ketut Sudiani, Ni Made Frisca Aswarini, Ni Made Purnama Sari, Ni Putu Destriani Devi, Ni Putu Rastiti, Pranita Dewi, Zinda Ruud Purnama.

Bandung : ......................

Sumbar : Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Heru JP, Iggoy El fitra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Feni Effendi, Fitra Yanti, Ragdi F Daye, Romi Zarma, Nilna R Isna, Fadilla Ramadona, Zelfeni Wimra, Dedy Arsya, Sayyid Madhani Syani.

Lampung : Fitri Yani, Inggit Putria Marga, Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alfian, Lupita Lukman.

peninjau : Aan Mansyur (Makasar), Irianto Ibrahim (Kendari), Syaiful Gani (Kendari), Titas Suwanda (Jambi), Nanang Tasurna (Jambi), Isan Mongkogita Dasin (Babel), Ira Esmeralda (Babel), Mamaqdudah (Babel), Wanda Leopolda (Jakarta), Irmansyah (Jakarta), Adien Histerya (Semarang), Lanang Q (Semarang), Surya Hadi (Pekanbaru), Rahmad Sanjaya (Aceh), M Yunus Rangkuti (Medan), Sobirin Zaini (Pekanbaru), Kedung Darma (Jogja), dll. Pembicara : Nur Zein Hae, Sudarmoko.

Salam Hormat,
Panitia Kegiatan



Panitia Kegiatan


Pelindung : Walikota Payakumbuh

Penasihat : Kepala Kantor Pariwisata Seni dan Budaya
Kota Payakumbuh
Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat

Pengarah : Gus tf
Yusril
Rusli Marzuki Saria

Penanggung jawab : Ketua Dewan Kesenian Kota Payakumbuh

Ketua Panitia : Iyut Fitra

Wakil Ketua : Ijot Goblin
Dony Prayuda

Sekretaris : Sudarmoko

Wakil Sekretaris : Khris La Deva

Bendahara : Yusra Maiza

Sekretariat : Zelfeni Wimra
Pinto Anugrah
Esha Tegar Putra

Bidang Acara : Romi Zarman
Yetti A KA
Wahyu MS
Della Nst
Sukra Maulana
Endi J
Aspon Dede
Feni Warnialis

Bidang Perlengkapan : Yongki Wahid
Yan Putra Utama
Sanur
Novandri
Syaiful Hadi
Feni Effendi

Konsumsi dan Akomodasi: Komunitas Seni Intro

Bidang Dana : AR Rahman
Reno Wulan Sari
Ria Febrina
Ganda Cipta
Riko Oktian Putra

LO : Mutia Ulfa
Dhini Rezky Husada
Deddy Arsya
Chairan Chafzan
Gusriyono


Read more....
(0 comments at js-kit.com)
10 April 2008

Ini Peristiwa Puisi!

oleh: Esha Tegar Putra

...dalam kamar

dalam terang damar,

namaku seperti menggelupas

namamu seperti melepas,

meninggalkan si ampas kopi

membekap puisi yang belum jadi,...

(peristiwa kamar; Agus Hernawan)


Puisi, sebentuk rumah (mungkin juga disebut dunia) tempat bertumbuh-kembangnya “kata” bahkan “bahasa,” dimana pergulatan “nyata” memendam di dalamnya. Dimulai dari kelisanan bahasa, ia—puisi—dutuliskan di lontar, kulit binatang, sampai pada kertas-kertas kumuh. Selama ini mungkin hanya nama, dari si penyair Fanshuri bertolak ke Chairil, atau sederetan nama yang beberapa dekade ini muncul di lembaran koran dan majalah. “Mereka” tersebut dalam sederetan nama, tapi yang jelas “mereka” bangkit, hadir tersebab puisi.


Segala rasa, ide, pandangan tumpah dalam puisi yang membentuk semacam kristal. Puisi juga menjadi sebuah pertanda bagi setiap generasi yang pernah ada. Puisi bukan hanya sebentuk kata-kata yang terjalin dengan dengan indah, tapi lebih kepada pemaknaannya. Puisi sanggup membuat si penyair atau si pembaca masuk dan merasa; bahwa ia sendiri puisi itu!


Jika ditilik perjalanan perpuisi Indonesia modern sampai kini adalah perjalanan untuk meraih berbagai kebebasan Bermacam perambahan dalam perkembangan perpuisian modern di Indonesia kian berkembang. Dari penyair Pujangga Lama yang berkutat dengan bentuk pengucapan syair dan pantun, Pujangga Baru yang berusaha membebaskan diri dari hal itu, sampai pada dekade angkatan-angkatan yang dibuat berikutnya. Perubahan terhadap bentuk pada puisi pun makin berkembang dari masa ke masa. Perombakan terhadap kata-kata marak dilakukan para penyair di tahun 1970-an, dengan berbagai upaya pembebasan kata serta pemanfaatan serta kandungan nuansa kata yang didapat dari akar tradisi, di awal tahun 1980-an mulai dianggap selesai atau telah selesai pada titik jenuh. Tahun 1980-an perhatian utama penyair cenderung beralih pada imaji. Dan sekarang sebagian penyair (yang diistilahkan) mutahkir malah kembali menggali kearifan lokal.


Sejarah perkembangan perpuisi itu merupakan sebuah kritisme puisi. Seperti yang dikatakan oleh Arif bagus Prasetyo dalam Epinomenon: sebentuk peradaban impian nan gemilang di masa depan, sejarah hadir sebagai suksesi momen-momen kudus tatkala rasio dan utopia ditubuhkan dalam tindakan. Sejarah tidak lain sebagai area konflik yang mencabik-cabik tubuh masyarakat dalam berbagai kontradiksi sosial-politik.


Penyair datang membawa kabar penyembuhan bagi kontradiksi ini. Ditawarkannya sepetak tanah suaka ideal yang melindungi masyarakat dari horor perubahan dan kematian Memang begitulah penyair, puisi dan kesejarahan dari perpuisian Indonesia. Di dalam pusaran sejarah penyair itu membuat dunianya sendiri. Dunia yang mencipta dari jalinan teks-teks yang terus tumbuh dan berkembang.


Jika dilihat secara kuantitas maupun kualitasnya, karya sastra (puisi) yang terbit belakangan ini seperti datang berdesakan. Di lembaran sastra koran, majalah, buku, bakhan media paling instan seperti internet. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh terjadinya perubahan yang sangat mendasar dalam berbagai persoalan yang terjadi dari dalam diri si penyair itu sendiri.


***

Mereka adalah penyair, si pencipta puisi, orang-orang terlahir dari peristiwa puisi. Peristiwa-peristiwa yang bergumulan dengan teks-teks yang mirip picingan mata. Mengendap begitu saja. Teks-teks yang berbeda dengan lain di luar dunia sastra.


Dunia sastra? Ya, dunia yang penuh hiruk pikuk, penuh dengan segala macam pebaharuan, perputaran, pembalikan perlawanan terhadap teks-teks yang lain. sehingga dunia sastra membentuk sebuah dunia yang penuh dengan lapisan makna. Si penyair mungkin saja menulis kan “ini”, dan si pembaca atau pun si penelaah bisa sajamengartikannya “itu”, itulah puisi dengan rentetan peristiwa yang telah menggubah sebuah peradaban. Sebuah peradaban telah dirubah oleh peristiwa puisi?

***


Geliat dunia kesusastraan khususnya Sumatra Barat (Sumbar) dari masa ke masa kian menggairahkan. Banyak karya-karya sastra yang bermunculan dari Sumbar beriring dengan deretan nama yang terus saja bertambah. Ruang-ruang publikasi karya baik di koran lokal Sumbar, luar daerah Sumbar, ataupun koran-koran nasional dan berbagai majalah menjadi tempat yang menarik untuk “bertarung” karya.


Tentunya ruang-ruang itu mempunyai sebuah keterbatasan, bagaimana tidak, kebanyakan ruang-ruang itu terbit sekali sepekan. Tapi keterbatasan ruang-ruang publikasi karya di berbagai media itulah yang membuat sebuah iklim yang sehat bagi proses penciptaan karya. di mana, antara mereka yang melahirkan karya-karya berusaha untuk lebih baik dalam hal pencapaian.


Ada yang bertumbuh, tentu saja tidak semuanya yang terus bertumbuh. Sebagian terus tumbuh dan sebagian lagi ada yang tumbang. Itu memang sebuah hukum alam dalam sebuah proses. Tapi untuk mengimbangi hukum alam tersebut banyak hal-hal yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Contohkan saja dengan diadakannya bermacam lomba cipta karya (baik itu novel, cerpen, puisi), mengumpulkan karya-karya dalam sebuah buku, atau dengan mengadakan sebuah hajatan (pertemuan) antar para penggiat-penggiat sastra di dalam atau luar daerah Sumbar.


Untuk itulah tahun ini Dewan Kesenian Payakumbuh, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatra Barat mengambil sebuah inisiatif untuk menyeimbangi hukum alam tersebut, terkhusus dunia perpuisian. Dengan mengadakan sebuah acara temu antara penyair, para pemerhati puisi, dan masyarakat. Kerjasama antar beberapa elemen tersebut bertujuan untuk menghargai karya-karya para penyair—acara ini dikhususkan bagi para penyair-penyair muda—yang beberapa dekade ini nama mereka bermunculan di berbagai media seiring karya-karya mereka.


Pada dua rapat panitia di Kantor DKP (Dewan Kesenia Payakumbuh) dan markas Komunitas Intro (Payakumbuh) telah mendapat sebuah kesepakan bahwasanya acara ini akan diadakan pada tanggal 27-29 April mendatang, di Kota Payakumbuh. Acara ini yang diberi nama Temu Penyair Lima Kota. Di luar Sumatra Barat, empat daerah (atau kota) lain yang diundang penyair-penyair mudanya dalam acara ini adalah daerah Bali, Lampung, Jogja, Bandung. Masing-masing daerah akan mengutus 10 orang penyairnya untuk datang dan pemilihan itu dilakukan oleh kordinator masing-masing daerah yang telah ditunjuk oleh panitia acara. Masing-masing penyair yang diutus mengirimkan beberapa puisinya, yang mana, puisi itu akan dijadikan sebuah antologi yang akan diterbitkan pada pembukaan acara.


“Kami menyeleksi beberapa para penyair muda dari Sumbar dengan memperhatikan kekonsistenan dalam proses mereka berkarya!” Begitulah ungkap Iyut Fitra, koordonator terpilih untuk daerah Sumbar—selaku ketua pelaksana acara ini dan ketua Dewan Kesenian Payakumbuh.


Adapun beberapa nama para penyair muda dari Sumbar yang diundang dalam acara ini antara lain: Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Fadhila Ramadona, Feni Efendi, Esha Tegar Putra, Igoy El Fitra, Romi Zarman, Ragdi F Daye, Nilna R Isna, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Dedy Arsya, Zelfeni Wimra, Heru JP, Sayyid Madany Syani.


Di samping lima daerah yang diundang ada beberapa daerah lain yang diikutsertakan sebagai peserta peninjau antara lain Jakarta, Bangka Belitung, Jambi, Pekanbaru, dan kendari. Acara ini bermula dari pertemuan yang sudah diadakan di Bandung (2005) dan Jogja (2007).


Sumbar dipilih untuk menjadi panitia acara selanjutnya (setelah di Jogja, 2007) melalu kesepakat bersama sewaktu di Jogja. Dan setelah melalui beberapa perbincangan dengan beberapa komunitas-komunitas sastra, para sastrawan di Sumbar. Maka ditetapkan acara ini di Payakumbuh dengan melihat beberapa pertimbangan.


Acara Temu Penyair Lima Kota (singkat: TPLK) ini memang lebih memprioritaskan penyair-penyair muda sebagai pesertanya. Muda dan artian proses dan kredibilitas mereka sebagai penyair. Dan di acara TPLK nantinya akan dibahas berbagai persoalan mengenai perpuisian di Indonesia akhir-kahir ini, geliat perpuisian di daerah masing-masing dan beberapa permasalahan lain menyangkut publikasi karya. Menurut Sudarmoko (Sekretaris TLPK) dalam acara ini juga bakal di undang beberapa pembicara nasional, yaitu: Nur Zen Hae (Sastra Dewan Kesenian Jakarta), Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra dan redaktur di kompas), dan beberapa pembicara lokal.


Acara ini bertujuan juga untuk lebih mendekatkan lagi dunia kesuastraan (khususnya puisi) dengan masyarakat Sumbar. Dan tidak tertutup kemungkinan bagi siapa saja untuk datang. Selain acara diskusi, masing-masing penyair yang diundang ini nantinya akan membacakan puisi. Juga ada beberapa pertunjukan teater dan musik puisi yang akan diisi oleh komunitas-komunitas seni yang ada di Sumbar.


Semoga saja dengan adanya acara ini, makin menyemangatkan mereka yang bergelut di dunia perpuisian. Sekali lagi, “siapa saja boleh ikut nimbrung dalam acara ini!” Menurut panitia acara ini akan beralih tempat setiap tahunnya. Jika kemaren di Jogja, sekarang Sumbar, mungkin saja tahun besok diadakan di Bali atau di Kendari, bisa saja. Yang jelas ini bukan hanya sekadar hajatan biasa atau kongkow-kongkow. Berharap dengan adanya acara ini mungkin akan tumbuh lagi penyair-penyair (sastrawan) muda dari Sumbar khususnya yang akan menggairahkan dunia kesusastraan Indonesia.

* Panitia Temu Penyair Lima Kota
Tulisan ini pernah diterbitkan di koran Padang Ekspres (6/4/08)


Read more....
(0 comments at js-kit.com)