dreamnicer version 1.0
10 April 2008

Ini Peristiwa Puisi!

oleh: Esha Tegar Putra

...dalam kamar

dalam terang damar,

namaku seperti menggelupas

namamu seperti melepas,

meninggalkan si ampas kopi

membekap puisi yang belum jadi,...

(peristiwa kamar; Agus Hernawan)


Puisi, sebentuk rumah (mungkin juga disebut dunia) tempat bertumbuh-kembangnya “kata” bahkan “bahasa,” dimana pergulatan “nyata” memendam di dalamnya. Dimulai dari kelisanan bahasa, ia—puisi—dutuliskan di lontar, kulit binatang, sampai pada kertas-kertas kumuh. Selama ini mungkin hanya nama, dari si penyair Fanshuri bertolak ke Chairil, atau sederetan nama yang beberapa dekade ini muncul di lembaran koran dan majalah. “Mereka” tersebut dalam sederetan nama, tapi yang jelas “mereka” bangkit, hadir tersebab puisi.


Segala rasa, ide, pandangan tumpah dalam puisi yang membentuk semacam kristal. Puisi juga menjadi sebuah pertanda bagi setiap generasi yang pernah ada. Puisi bukan hanya sebentuk kata-kata yang terjalin dengan dengan indah, tapi lebih kepada pemaknaannya. Puisi sanggup membuat si penyair atau si pembaca masuk dan merasa; bahwa ia sendiri puisi itu!


Jika ditilik perjalanan perpuisi Indonesia modern sampai kini adalah perjalanan untuk meraih berbagai kebebasan Bermacam perambahan dalam perkembangan perpuisian modern di Indonesia kian berkembang. Dari penyair Pujangga Lama yang berkutat dengan bentuk pengucapan syair dan pantun, Pujangga Baru yang berusaha membebaskan diri dari hal itu, sampai pada dekade angkatan-angkatan yang dibuat berikutnya. Perubahan terhadap bentuk pada puisi pun makin berkembang dari masa ke masa. Perombakan terhadap kata-kata marak dilakukan para penyair di tahun 1970-an, dengan berbagai upaya pembebasan kata serta pemanfaatan serta kandungan nuansa kata yang didapat dari akar tradisi, di awal tahun 1980-an mulai dianggap selesai atau telah selesai pada titik jenuh. Tahun 1980-an perhatian utama penyair cenderung beralih pada imaji. Dan sekarang sebagian penyair (yang diistilahkan) mutahkir malah kembali menggali kearifan lokal.


Sejarah perkembangan perpuisi itu merupakan sebuah kritisme puisi. Seperti yang dikatakan oleh Arif bagus Prasetyo dalam Epinomenon: sebentuk peradaban impian nan gemilang di masa depan, sejarah hadir sebagai suksesi momen-momen kudus tatkala rasio dan utopia ditubuhkan dalam tindakan. Sejarah tidak lain sebagai area konflik yang mencabik-cabik tubuh masyarakat dalam berbagai kontradiksi sosial-politik.


Penyair datang membawa kabar penyembuhan bagi kontradiksi ini. Ditawarkannya sepetak tanah suaka ideal yang melindungi masyarakat dari horor perubahan dan kematian Memang begitulah penyair, puisi dan kesejarahan dari perpuisian Indonesia. Di dalam pusaran sejarah penyair itu membuat dunianya sendiri. Dunia yang mencipta dari jalinan teks-teks yang terus tumbuh dan berkembang.


Jika dilihat secara kuantitas maupun kualitasnya, karya sastra (puisi) yang terbit belakangan ini seperti datang berdesakan. Di lembaran sastra koran, majalah, buku, bakhan media paling instan seperti internet. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh terjadinya perubahan yang sangat mendasar dalam berbagai persoalan yang terjadi dari dalam diri si penyair itu sendiri.


***

Mereka adalah penyair, si pencipta puisi, orang-orang terlahir dari peristiwa puisi. Peristiwa-peristiwa yang bergumulan dengan teks-teks yang mirip picingan mata. Mengendap begitu saja. Teks-teks yang berbeda dengan lain di luar dunia sastra.


Dunia sastra? Ya, dunia yang penuh hiruk pikuk, penuh dengan segala macam pebaharuan, perputaran, pembalikan perlawanan terhadap teks-teks yang lain. sehingga dunia sastra membentuk sebuah dunia yang penuh dengan lapisan makna. Si penyair mungkin saja menulis kan “ini”, dan si pembaca atau pun si penelaah bisa sajamengartikannya “itu”, itulah puisi dengan rentetan peristiwa yang telah menggubah sebuah peradaban. Sebuah peradaban telah dirubah oleh peristiwa puisi?

***


Geliat dunia kesusastraan khususnya Sumatra Barat (Sumbar) dari masa ke masa kian menggairahkan. Banyak karya-karya sastra yang bermunculan dari Sumbar beriring dengan deretan nama yang terus saja bertambah. Ruang-ruang publikasi karya baik di koran lokal Sumbar, luar daerah Sumbar, ataupun koran-koran nasional dan berbagai majalah menjadi tempat yang menarik untuk “bertarung” karya.


Tentunya ruang-ruang itu mempunyai sebuah keterbatasan, bagaimana tidak, kebanyakan ruang-ruang itu terbit sekali sepekan. Tapi keterbatasan ruang-ruang publikasi karya di berbagai media itulah yang membuat sebuah iklim yang sehat bagi proses penciptaan karya. di mana, antara mereka yang melahirkan karya-karya berusaha untuk lebih baik dalam hal pencapaian.


Ada yang bertumbuh, tentu saja tidak semuanya yang terus bertumbuh. Sebagian terus tumbuh dan sebagian lagi ada yang tumbang. Itu memang sebuah hukum alam dalam sebuah proses. Tapi untuk mengimbangi hukum alam tersebut banyak hal-hal yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Contohkan saja dengan diadakannya bermacam lomba cipta karya (baik itu novel, cerpen, puisi), mengumpulkan karya-karya dalam sebuah buku, atau dengan mengadakan sebuah hajatan (pertemuan) antar para penggiat-penggiat sastra di dalam atau luar daerah Sumbar.


Untuk itulah tahun ini Dewan Kesenian Payakumbuh, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatra Barat mengambil sebuah inisiatif untuk menyeimbangi hukum alam tersebut, terkhusus dunia perpuisian. Dengan mengadakan sebuah acara temu antara penyair, para pemerhati puisi, dan masyarakat. Kerjasama antar beberapa elemen tersebut bertujuan untuk menghargai karya-karya para penyair—acara ini dikhususkan bagi para penyair-penyair muda—yang beberapa dekade ini nama mereka bermunculan di berbagai media seiring karya-karya mereka.


Pada dua rapat panitia di Kantor DKP (Dewan Kesenia Payakumbuh) dan markas Komunitas Intro (Payakumbuh) telah mendapat sebuah kesepakan bahwasanya acara ini akan diadakan pada tanggal 27-29 April mendatang, di Kota Payakumbuh. Acara ini yang diberi nama Temu Penyair Lima Kota. Di luar Sumatra Barat, empat daerah (atau kota) lain yang diundang penyair-penyair mudanya dalam acara ini adalah daerah Bali, Lampung, Jogja, Bandung. Masing-masing daerah akan mengutus 10 orang penyairnya untuk datang dan pemilihan itu dilakukan oleh kordinator masing-masing daerah yang telah ditunjuk oleh panitia acara. Masing-masing penyair yang diutus mengirimkan beberapa puisinya, yang mana, puisi itu akan dijadikan sebuah antologi yang akan diterbitkan pada pembukaan acara.


“Kami menyeleksi beberapa para penyair muda dari Sumbar dengan memperhatikan kekonsistenan dalam proses mereka berkarya!” Begitulah ungkap Iyut Fitra, koordonator terpilih untuk daerah Sumbar—selaku ketua pelaksana acara ini dan ketua Dewan Kesenian Payakumbuh.


Adapun beberapa nama para penyair muda dari Sumbar yang diundang dalam acara ini antara lain: Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Fadhila Ramadona, Feni Efendi, Esha Tegar Putra, Igoy El Fitra, Romi Zarman, Ragdi F Daye, Nilna R Isna, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Dedy Arsya, Zelfeni Wimra, Heru JP, Sayyid Madany Syani.


Di samping lima daerah yang diundang ada beberapa daerah lain yang diikutsertakan sebagai peserta peninjau antara lain Jakarta, Bangka Belitung, Jambi, Pekanbaru, dan kendari. Acara ini bermula dari pertemuan yang sudah diadakan di Bandung (2005) dan Jogja (2007).


Sumbar dipilih untuk menjadi panitia acara selanjutnya (setelah di Jogja, 2007) melalu kesepakat bersama sewaktu di Jogja. Dan setelah melalui beberapa perbincangan dengan beberapa komunitas-komunitas sastra, para sastrawan di Sumbar. Maka ditetapkan acara ini di Payakumbuh dengan melihat beberapa pertimbangan.


Acara Temu Penyair Lima Kota (singkat: TPLK) ini memang lebih memprioritaskan penyair-penyair muda sebagai pesertanya. Muda dan artian proses dan kredibilitas mereka sebagai penyair. Dan di acara TPLK nantinya akan dibahas berbagai persoalan mengenai perpuisian di Indonesia akhir-kahir ini, geliat perpuisian di daerah masing-masing dan beberapa permasalahan lain menyangkut publikasi karya. Menurut Sudarmoko (Sekretaris TLPK) dalam acara ini juga bakal di undang beberapa pembicara nasional, yaitu: Nur Zen Hae (Sastra Dewan Kesenian Jakarta), Nirwan Ahmad Arsuka (pengamat sastra dan redaktur di kompas), dan beberapa pembicara lokal.


Acara ini bertujuan juga untuk lebih mendekatkan lagi dunia kesuastraan (khususnya puisi) dengan masyarakat Sumbar. Dan tidak tertutup kemungkinan bagi siapa saja untuk datang. Selain acara diskusi, masing-masing penyair yang diundang ini nantinya akan membacakan puisi. Juga ada beberapa pertunjukan teater dan musik puisi yang akan diisi oleh komunitas-komunitas seni yang ada di Sumbar.


Semoga saja dengan adanya acara ini, makin menyemangatkan mereka yang bergelut di dunia perpuisian. Sekali lagi, “siapa saja boleh ikut nimbrung dalam acara ini!” Menurut panitia acara ini akan beralih tempat setiap tahunnya. Jika kemaren di Jogja, sekarang Sumbar, mungkin saja tahun besok diadakan di Bali atau di Kendari, bisa saja. Yang jelas ini bukan hanya sekadar hajatan biasa atau kongkow-kongkow. Berharap dengan adanya acara ini mungkin akan tumbuh lagi penyair-penyair (sastrawan) muda dari Sumbar khususnya yang akan menggairahkan dunia kesusastraan Indonesia.

* Panitia Temu Penyair Lima Kota
Tulisan ini pernah diterbitkan di koran Padang Ekspres (6/4/08)

Easy leave message, here!
(0 comments at js-kit.com)

0 comments: