dreamnicer version 1.0
02 January 2008

Sastra Harus Kembali ke Fitrahnya

Dianing Widya Yudhistira tidak pernah menduga Sintren,
novel debutan awalnya, akan masuk ke dalam jajaran
nominator peraih anugeran sastra Khatulistiwa 2007.
Banyak orang menduga ia menulis Sintren karena
terinspirasi dari Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Tapi ternyata tidak demikian adanya. Batang,
Pekalongan, tempat kelahirannya memberi Dian inspirasi
untuk menulis Sintren dengan beragam masalah yang
menyelubunginya: mulai dari soal kesenian daerah yang
telah punah, perjuangan perempuan, sampai dengan
kemiskinan yang melilit masyarakat di sana. Dianing
menuturkan gagasan serta saujananya tentang sastra dan
kebudayaan kepada Jurnal Nasional di sela-sela
kesibukannnya merampungkan novel terbarunya.
----

Anda, melalui novel Sintren, dinominasikan sebagai
penerima anugerah sastra
Khatulistiwa pada tahun ini. Bagaimana perasaan Anda?

Wah, saya senang sekali. Saya berharap dapat memenangi
anugerah itu setelah
berkali-kali cuma sampai tahap nominator saja. Naskah
novel saya yang
berjudul Weton cuma jadi finalis di DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta). Moga-moga
sekarang saya bisa meraih Khatulistiwa, doakan ya,
mas...

Hadiahnya cukup besar, akan Anda apakan jika menang?

Wah, semoga menang. Hadiahnya untuk pendidikan
anak-anak saya.

Sementara banyak penulis perempuan mengangkat tema
seksualitas, bisa Anda
ceritakan kenapa mengangkat tema sintren ke dalam
novel Anda?

Saya tertarik dengan budaya lokal yang kini perlahan
sudah mulai punah.
Lagipula sintren kini sudah jarang, bahkan sudah tak
ada lagi di daerah saya.
Kebetulan saya dilahirkan dan besar di Batang,
Pekalongan. Dulu waktu masih
SD, saya masih bisa nonton sintren. Tapi sekarang
sintren tidak ada lagi.
Yang ada malah cafe-cafe yang mulai menjamur. Bisa
dikatakan generasi seumur
anak saya praktis sudah tak bisa lagi menikmatinya.

Dengan demikian apa yang Anda hendak sampaikan kepada
pembaca dengan segala
macam problematika kebudayaan lokal yang Anda katakan
mulai punah tadi?

Dalam novel itu saya ingin mengatakan kepada pembaca
tentang tiga hal, pertama
tentang kebudayaan lokal itu sendiri, tentang
perjuangan perempuan dan juga
kemiskinan yang menjerat masyarakat, khususnya yang
berada di sana karena
lingkungan sekitar didominasi oleh kelompok marjinal
seperti nelayan, buruh,
petani dan lain sebagainya. Karena di sana, di Batang,
lingkungan nelayan
yang sampai kini masih terlilit kemiskinan. Kemudian
saya juga ingin
membangkitkan kembali sintren, siapa tahu karena
membaca karya saya ada
pembaca yang tertarik untuk menghidupkan sintren lagi.

Menghidupkan Sintren atau mengangkat derajat
masyarakat dari kemiskinan? Atau
kedua-duanya sama Anda anggap penting dalam novel
Anda.

Tentu, dua-duanya penting. Kemiskinan itu sangat
menyakitkan dan saya ingin
kemiskinan yang diderita masyarakat itu harus terus
diperjuangkan supaya
beranjak ke taraf yang lebih baik. Tokoh novel saya,
Saraswati itu kan tokoh
yang miskin, melalui itu saya ingin katakan bahwa di
sana, di daerah,
kemiskinan itu adalah hal yang nyata, yang benar-benar
terjadi. Berbeda
dengan Jakarta, di mana kekayaan menjadi pemandangan
sehari-hari,
gedung-gedung bertingkat berdiri megah dan mobil-mobil
mewah berseliweran.
Semua itu biasa di sini. Bahkan kelas menengah kini
sudah ikut miskin.
Begitulah kenyataan masyarakat yang saya tuangkan ke
dalam novel saya.
Melalui tokoh Saraswati itu, dia seorang perempuan
yang memiliki cita-cita
kuat untuk meneruskan pendidikannya hingga ke jenjang
SMEA (Sekolah Menengah
Ekonomi Atas, Red). Tetapi orangtuanya tak mampu
membiayai Saraswati, bahkan
menunggak SPP selama tiga bulan.

Anda menangkap gambaran itu dalam kehidupan nyata
sehari-hari yang pernah
alami di tempat kelahiran Anda?

Saya berangkat dari pengalaman nyata. Tokoh sintrennya
sendiri adalah kawan
saya. Jadi memang meskipun itu fiksi, semuanya jadi
bagian pengalaman hidup
saya. Kisah tersebut memang benar-benar terjadi,
seperti yang dialami oleh
kawan saya ketika masih duduk di bangku SMP di Batang.
Dia dropout dari
sekolah karena tak mampu membayar SPP. Itu realitas,
kenyataannya memang
demikian. Kita bisa melihat betapa kemiskinan bisa
menghambat orang untuk
dapat mengenyam pendidikan dengan baik. Namun dalam
novel saya diceritakan
bagaimana Saraswati gigih berusaha untuk tetap
meneruskan sekolahnya, bahkan
dengan jalan menjadi sintren. Padahal tidak semua
orangtua di Batang itu
merelakan anaknya jadi sintren. Saraswati berani
menempuh apapun, termasuk
menjadi sintren dengan resiko yang berat, asalkan ia
tetap dapat melanjutkan
sekolahnya. Pada akhirnya saya hendak mengatakan bahwa
Saraswati adalah
perempuan yang tegar dan kuat, yang tak setuju jika
pada akhirnya perempuan
kelak setelah menikah harus berakhir di dapur. Saya
ingin mengatakan kalau
perempuan itu harusnya tegar dan kuat. Tapi memang
seringkali budaya dalam
masyarakat kita tak mendukung hal-hal seperti
demikian. Begitu juga di
Batang, para orangtua lebih senang menyekolahkan anak
lelakinya ketimbang
anak perempuannya. Mereka percaya jika anak perempuan
itu pada akhirnya harus
kembali juga ke dapur. Saya masih ingat ketika masih
remaja,

Perempuan tentang perempuan. Sama seperti novel-novel
karya penulis perempuan
lainnya. Apa yang membuat karya Anda berbeda dari yang
lain?

Seorang teman dari Semarang mengatakan pada saya kalau
novel perempuan itu
isinya paling itu-tu saja isinya. Saya ingin tidak
seperti itu, seperti
kebanyakan novel lain. Sejauh ini saya akan terus
menulis tentang budaya
lokal, sehingga karya saya berbeda dengan yang lain.
Pokoknya saya ingin
bicara bahwa beginilah yang saya ingin sajikan kepada
masyarakat. Saya ingin
mengatakan bahwa perempuan itu bukan mahluk lemah.
Dalam novel itu kan
disebutkan oleh si Mak Saras bahwa perempuan cukup
bisa baca dan tulis saja,
tokh nantinya balik ke dapur lagi. Memang kenyataannya
demikian, di Batang
anak perempuan selalu dinomorduakan dalam soal
pendidikan. Orangtua di sana
lebih suka menyekolahkan anak laki-lakinya, menata
mereka supaya kelak hidup
lebih baik. Sementara anak perempuan cuma diminta
membantu orangtua
menyelesaikan pekerjaan di rumah saja. Mereka paling
tinggi disekolahkan
hanya sampai SMP atau SMA saja. Dan orangtua di sana
biasanya bangga ketika
anak perempuannya dilamar orang kemudian menikah.
Dengan demikian orangtua
bisa lepas dari tanggungjawab finansial dan tak perlu
lagi repot menjaga
mereka karena sudah jadi tanggungjawab suaminya.

Di satu sisi Anda ingin mengangkat budaya lokal, tapi
pada sisi lain Anda
seperti menggugatnya?

Yang ingin saya dobrak, ingin saya buktikan kepada
masyarakat adalah bahwa
perempuan itu sebetulnya bisa tampil menjadi subyek,
bukan sebagai pihak yang
lemah saja atau pendamping suami belaka. Di kampung
saya, dan juga mungkin di
daerah lain di Indonesia, perempuan masih sekadar jadi
kanca wingking (teman
di belakang/ di dapur, Red). Mungkin itu berlaku
sampai sekarang. Walaupun
mereka jadi sarjana, bukan berarti saya merendahkan
mereka, perempuan di sana
yang ujung-ujungnya seperti yang tadi saya katakan,
hanya jadi kanca wingking
saja. Padahal kalau saja mereka mau, mereka bisa
berkarya dan orang akan
memandang mereka bukan sebagai istri atau perempuan
biasa saja, tapi juga
subyek.

Apakah Anda melakukan penelitian untuk memperkuat
penulisan novel itu?

Iya, betul. Untuk mendapatkan data-data, saya bersusah
payah melakukan riset
dan melakukan wawancara kepada orang-orang yang pernah
terlibat di dalam
kesenian sintren. Penelitian itu saya mulai tahun
2004. Mereka rata-rata
sudah berusia lanjut, sudah tua, ada yang berusia 70
tahun ke atas, bahkan
ada yang orang yang jadi sinden panjak itu sudah pikun
sampai-sampai saya
bingung harus bagaimana mewawancarai
dia...hahahaha. ...

Banyak orang mengatakan di dalam Sintren Anda meniru
Ahmad Tohari yang menulis
Ronggeng Dukuh Paruk. Lantas apa yang membedakan
Sintren dengan Ronggeng-nya
Ahmad Tohari?

Wah, ndaklah, novel punya saya berbeda dari karya
Ahmad Tohari. Begini,
pertama saya lahir tahun 1970-an ya, berbeda dengan
Ahmad Tohari yang sempat
mengalami masa-masa pergolakan pada tahun 1960-an,
terutama 1965. Saya memang
murni ingin mengatakan dalam sintren itu cukup tentang
perjuangan perempuan
saja. Memang tak ada unsur politik dalam novel
Sintren, tidak seperti pada
karya Ahmad Tohari. Karya saya ini tentang bagaimana
seorang perempuan
berjuang. Itu saja. Dan saya pikir politik tidak harus
selalu jadi tema dalam
sebuah novel, yang penting untuk menulis yang bagus ya
saya harus tahu betul
apa yang saya sedang tulis. Saya ingin novel saya lain
dari yang lain. Ayu
Utami semisal nulis politik dengan begini...begitu. ..
terus ada lagi beberapa
penulis yang menulis novel dengan tema kehidupan
perkotaan, tapi saya tidak
mau ikut terseret dengan tema-tema seperti demikian.
Saya merasa jadi bagian
dari kebudayaan lokal itu sendiri.

Selain Sintren, novel apa lagi yang Anda akan dan
sedang tulis? Apakah semua
tak jauh-jauh dari tema kebudayaan lokal?

Iya, tiga novel saya yang belum dipublikasikan juga
mengangkat persoalan
kearifan lokal. Semisal pada naskah novel Weton yang
sempat saya ikutkan
lomba DKJ kemarin. Dalam novel itu saya menceritakan
tentang weton
(perhitungan hari baik di dalam masyarakat Jawa, Red),
sekaligus mendobrak
kenyataan bahwa weton itu tak sesuai lagi dengan zaman
modern ini. Dan itu
hingga kini masih dianut kuat oleh orang Jawa, untuk
menghitung hari baik apa
kiranya di dalam melaksanakan sesuatu, semisal
pernikahan. Bahkan gara-gara
weton sampai-sampai ibu dan anak berpisah, gara-gara
weton hari lahir anaknya
sama dengan bapaknya. Dan itu dianggap tidak membawa
rezeki, jadi si anak
harus harus hidup terpisah dengan orangtuanya. Dalam
weton saya bicarakan
soal budaya Jawa yang berakar begitu kuat,
sampai-sampai orang pacaran pun
batal menikah hanya karena perhitungan wetonnnya tidak
ideal.

Tapi kan weton itu bagian dari kearifan lokal
masyarakat Jawa yang justru
seharusnya Anda lestarikan juga?

Dalam Weton ada hal yang tidak manusiawi. Saya ingin
mengatakan kepada
masyarakat Jawa bahwa semua hari itu baik, jangan
dipermasalahkan. Soalnya
weton itu sudah banyak memakan korban, teman saya pun
mengalami masalah
gara-gara weton. Dia gagal menikah hanya karena
dianggap wetonnya tidak
cocok. Tapi juga di bagian lain, ada yang disetujui
oleh orangtua kendati
wetonnya tidak cocok, namun tetap dipaksakan menikah.
Akibatnya mereka selalu
dirundung marabahaya. Nah yang begini yang selalu
dijadikan alasan buat
masyarakat untuk membuktikan bahwa weton itu penting.
Saya sendiri tidak
setuju dengan pendapat itu. Bagi saya apa yang menimpa
mereka bukan karena
wetonnya.

Anda punya komentar menyikapi kondisi kesusasteraan
Indonesia akhir-akhir ini?
Lantas bagaimana menurut pendapat Anda menyoal
menjamurnya komunitas sastra
di berbagai kota?

Menurut saya inilah sastra kita, ciri khas selalu ada.
Keberagaman dalam
sastra itu baik, bagus. Dan kondisi kesusasteraan
Indonesia menurut saya
baik-baik saja. Saya sendiri kurang berminat untuk
bergabung dengan komunitas
sastra, kalau ada undangan ya saya datang. Dengan
demikian saya bisa berbagi
dengan anggota komunitas itu. Saya lebih suka
individual.

Sebagai penulis Anda punya Ideologi gak sih?

Apa ya? Hahaha...Pokoknya apa yang saya tulis itu bisa
bermanfaat, ada unsur
nilai moralitasnya dan saya ingin apa yang saya tulis
bisa jadi bahan
perenungan bagi pembaca. Saya juga ingin mengedepankan
soal perempuan dan
juga ahlak manusia. Saya menulis tidak sekadar
memenuhi batin saja. Saya
ingin tulisan saya ditulis di ruangan terbuka. Saya
ingin kita kembali kepada
fitrahnya sastra, bahwa sastra itu karya yang bisa
membuat orang terenyuh,
bisa jadi peka dan memiliki pekerti yang luhur. Saya
kepingin karya sastra
bisa mencerahkan pembacanya, bukan sekadar sensasional
saj ya... karena ada
orang yang menulis hanya untuk sensasi saja. Tidak
mencerahkan.

Tolong Anda sebutkan contoh karya sensasional itu,
dong?

Nggak ah..saya juga ndak mau membuat sensasi
hahahaha... saya pikir pembaca
kita juga sudah cerdas, mereka bisa menilai sendiri
karya mana yang seperti itu.

Easy leave message, here!
(0 comments at js-kit.com)

0 comments: