Oleh Gusriyono
Soeharto—anak petani Desa Kemusuk yang kemudian memimpin bangsa ini, barangkali—setelah lengsernya—mengalami juga kesepian seperti itu. Kesepian seorang penguasa dalam lalu-lalang pujian dan hujatan orang banyak, namun tetap tersenyum dengan lambaian tangan yang sama. Selama tiga puluh dua tahun menjalani rutinitas sebagai kepala negara dengan program pembangunan nasionalnya, Suharto telah memberi banyak warna dalam pembangunan bangsa ini. Semua orang mengaguminya dan tak jarang berusaha untuk menjadi orang terdekatnya. Namun ketika ia menarik diri dari kursi kepemimpinan, jadilah ia si penikmat sepi dalam usia yang kian uzur dalam deraan hujatan dan tuntutan.
Memang, adakalanya seperti pohon beringin tua di Pantai Padang yang beberapa waktu lalu tumbang. Pohon berumur ratusan tahun tersebut—yang tidak bisa ditebang dan tidak seorangpun berani mengganggunya, ketika telah tumbang siapa saja berani menaikinya termasuk katak yang hobinya meloncat-loncat pun berani bersuara diatas pohon rebah tersebut. Ketika sebuah kekuasaan dilepaskan dari diri kita, maka semuanya berbalik, keberpihakan menjadi ketidakberpihakan, kawan menjadi lawan dan sebagainya. Bahkan setiap orang seolah punya hak untuk menghujat dan menuntut pertanggung jawaban. Kadang dalam hiruk-pikuk persoalan tuntut menuntut tersebut, sumbangsih dan jasa sering terlupakan.
Namun, hal menarik dalam cerpen (baca; Selamat Jalan Tuan Presiden) Marquez tersebut, bagaimana Si Presiden menjadi bahan perdebatan penuh emosi antara suami dan istri dalam sebuah keluarga—tempat Si Presiden sering berkunjung. Dalam perdebatan tersebut Si Suami lebih membela Si Presiden sedangkan Si Istri lebih banyak mengkritisi dan menghujat Presiden tersebut. Suatu penggambaran yang sangat kontras sekali sebenarnya, keterwakilan antara yang membela dengan yang menghujat. Pihak yang membela digambarkan sebagai sosok lelaki, suami—kepala rumah tangga yang mempunyai wilayah kekuasaan. Sementara pihak yang mengkritisi atau menghujat diwakili oleh sosok perempuan, istri—pasangan kepala rumah tangga yang harus tunduk dan patuh kepada suami. Mungkin seperti itu jugalah penggambaran terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, yang kemudian di masa pensiunnya menjadi kasus dan meminta pertanggung jawaban. Sebab, walau bagaimanapun tidak semua kebijakan-kebijakannya memihak kepentingan orang banyak. Ada bagian-bagian dimana ia tampil sebagai otoriter dan bergaya Machiavelli. Niniek L. Karim dan Bagus Takwin (Kompas, 5 Mei 2000) mengatakan bahwa, seorang dengan kepribadian Machiavellian dan otoritarian, dengan latar belakang deprivasi beberapa kebutuhan dasar di masa kecil yang menetap sehingga cenderung membuatnya melakukan over kompensasi, bila memiliki juga kecerdasan yang tinggi, didukung kesempatan dan kondisi lingkungan, bisa menjadi pemimpin yang terlalu berkuasa. Kekuasaannya bisa mengarahkan dia menjadi seorang diktator, melakukan tindakan tirani.
Saat Si Presiden tidak lagi berkunjung ke keluarga tersebut, pasangan suami istri itu merasa ada yang hilang dari hidupnya. Tidak ada lagi perdebatan yang emosional waktu itu. Serupa Soeharto, yang menggenapkan usianya di titik 13:40 WIB, 27 Januari lalu. Semuanya kehilangan sosok yang selama ini penuh kontroversial. Orang-orang menundukkan kepala memberi penghormatan yang terakhir lengkap dengan isak tangis. Sesuai dengan filosofinya, kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahambauan. Maka, bahambauanlah sekalian orang mengantar jenazah ke pandam pakuburan, tak kurang jua sedekah kaji dan zikir serta doa-doa mohon kelapangan jalan bagi almarhum menujuNya. Permintaan maaf terhadap kesalahan-kesalahan almarhum juga dimohonkan ahli waris. Bahkan negara menetapkan sebagai hari berkabung nasional yang ditandai dengan menaikkan bendera setengah tiang selama tujuh hari.
Sementara waktu, semua orang tertuju pada perkabungan dan pengenangan terhadap jasa-jasa almarhum, namun masih ada juga yang mempersoalkan dosa-dosa terhadap kesalahan yang barangkali tidak bisa dimaafkan secara lahir. Pertanyaannya, sebegitu pentingkah hal-hal tersebut dibaca saat tanah perkuburan masih merah, ketika hujan air mata masih menderas dan kabut duka masih menyelimuti.
Barangkali kita perlu mengarifi bersama apa yang sering disampaikan ahli waris dari orang yang meninggal dunia ketika kita pergi ta’ziah di kampung-kampung.
Nyampang ado nan indak bisa dikarilahan
Kok utang rokok nan babatang
Kok salang bareh nan bagantang
Kok tenggang pitih nan babilang
Lah taduah hujan, lah tarang kabuik
Datanglah kapado kami ahli warih almarhum
Disini termaktub bahwa ada waktunya—lah taduah hujan, lah tarang kabuik—disaat mana kita harus datang dengan persoalan-persoalan yang mungkin harus diselesaikan secara aturan atau hukum yang berlaku. Pemahaman pada filosofi seperti ini telah mengajarkan kita untuk bersikap bijak dalam menghargai kematian seseorang.
Ditaman, orang-orang tidak melihat lagi Tuan Presiden duduk dibangku menikmati sore sembari menyaksikan angsa-angsa bermain dikolam. Selamat Jalan Tuan Presiden!
Read more....
(0 comments at js-kit.com)